Sudah Saatnya Semarang dan Kudus Menjalankan Destination Branding

Tak banyak pemerintah daerah yang menyadari akan pentingnya destination branding, sebuah proses dalam membangun identitas dan personality yang unik yang berbeda dari destinasi lainnya. Terbukti, berbagai destinasi di kota-kota di Indonesia–seperti Semarang dan Kudus–belum dikomunikasikan serta dikampanyekan dengan optimal oleh pemerintah daerah setempat.

ikon kota kudus

Padahal, jika langkah destination branding dilakukan, pemerintah daerah setempat dapat meningkatkan pendapatan daerah mereka dari sektor pariwisata. Hal itulah yang sudah dibuktikan oleh Bali dan wilayah kota lainnya di Indonesia yang sudah sukses melakukan destination branding maupun city branding.

Contohnya, di area bandara Ahmad Yani, Semarang–tempat wisatawan pertama kali mendarat sekaligus sebagai contact point awal–tak ada pesan komunikasi terkait destination branding di Semarang maupun Kudus yang tersaji. Sebut saja, gambar atau foto menarik yang dikemas lewat flier, brosur, papan reklame billboard yang dapat mengkomunikasikan berbagai destinasi di Kota Semarang maupun Kudus, nyaris tak ditemukan di sana.

Padahal, tahap mengkomunikasikan destinasi lewat gambar-gambar menarik merupakan langkah yang kritikal. Sebab, salah satu elemen dari destination branding adalah destination image. Sejatinya, gambar atau foto destinasi wisata memegang peranan kunci bagi para traveler atau wisatawan dalam memilih berbagai destinasi pilihan.

Menurut Baloglu dan Brinberg (1997), “Image differentiates tourist destination from each other and is an integral and influential part of traveler’s decision process.” Itu artinya, gambar dari destinasi wisata yang berbeda merupakan bagian dari proses traveler dalam menentukan pilihan destinasi wisata mereka.

Gunn (1972) menyebutkan bahwa komponen destination image terdiri dari dua. Pertama, Organic, yakni gambar dibuat oleh individu melalui pengalaman traveler saat melakukan wisata ke destinasi tersebut. Atau, melalui berbagai sumber informasi seperti liputan di media massa, film, hingga social media. Kedua adalah Induced, yakni gambar yang diciptakan lewat informasi yang diterima dari sumber eksternal seperti promosi atau iklan destinasi (dari para pengelola destinasi). Induced inilah yang disebut juga dengan branding.

Mirisnya, Semarang sebagai ibu kota provinsi Jawa Tengah, yang seharusnya menjadi salah satu kota yang perlu di-branding (city branding), juga minim tersentuh branding oleh pemerintah daerahnya. Padahal, di kota tersebut, ada banyak destinasi wisata yang dapat “dijual” kepada wisatawan atau traveler—baik domestik maupun mancanegara.

Makin ironis, di lokasi destinasi wisata Jawa Tengah–seperti Lawang Sewu dan kuil Sam Po Kong di Semarang serta Museum Kretek di Kudus–tak ada satu pun brosur yang dapat ditenteng wisatawan sebagai upaya edukasi sekaligus panduan traveler untuk berkeliling. Bandingkan dengan destinasi di wilayah Indonesia lainnya seperti Candi Prambanan, Borobudur, bahkan paling anyar candi Boko yang telah dibranding dengan baik oleh pemerintah daerahnya.

Ada lima fase dalam destination branding. Pertama, market investigation, analisis, kemudian rekomendasi strategi. Fase kedua adalah membangun identitas merek dari sebuah destinasi, baik itu negara, kota, maupun tempat wisata. Ketiga, brand launch (peluncuran merek destinasi) serta mengkomunikasikan destinasi tersebut. Keempat, brand implementation. Kelima adalah monitoring, evaluasi, dan review. Kelima fase itulah yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah setempat maupun pengelola destinasi untuk melakukan destination branding.

Lawang Sewu

#Lawang Sewu
Pamor Lawang Sewu (Seribu Pintu) sebagai ikon atau landmark Kota Semarang sudah cukup dikenal para traveler. Sebagai salah satu destinasi, Lawang Sewu banyak menyimpan sejarah perkeretaapian Indonesia, karena gedung tersebut pernah menjadi kantor administrasi pusat Kereta Api Indonesia pada zaman Belanda. Laiknya sebuah museum kereta api, Lawang Sewu sebenarnya dapat “menjual” aneka cerita sejarah tersebut untuk menarik minat para wisatawan.

Bahkan, ada banyak spot-spot foto yang sangat menarik, yang pastinya dapat dimanfaatkan pengunjung untuk mengabadikan gambar mereka. Berangkat dari karkater wisatawan, termasuk wisatawan lokal, yang gemar narsis, maka foto-foto yang mereka ambil di Lawang Sewu akan selalu di-share di social media. Terbukti, ketika Anda akan menggunakan hastag #lawangsewu atau #lawangsewusemarang di instagram, maka sudah ada ratusan ribu orang mem-posting-nya terlebih dahulu. Hal itulah yang oleh Gunn (1972) disebut sebagai komponen organik dari destination image.

Sebenarnya, kompleks gedung Lawang Sewu sudah tekelola dengan baik. Komplek yang saat ini masih direnovasi bagian bawah tanahnya itu sudah dibagi dalam sembilan area. Area A digunakan sebagai exhibition center; area B digunakan untuk foodcourt, galeri, meseum, dan office area; area C digunakan sebagai kantor pemasaran; area D dan E untuk utility; area F dan G untuk inner courtyard; area H untuk kawasan parkir mobil; dan area I untuk parkir motor.

Sayangnya, pemerintah setempat atau pengelola Lawang Sewu belum membuat brosur yang dapat didistribusikan di area Lawang Sewu atau lokasi-lokasi potensial tempat berkumpulnya para turis atau traveler, seperti bandara, stasiun kereta, hotel, cafe, atau lokasi wisata lainnya. Termasuk, menggelar aktivitas rutin (setiap weekend) di lokasi destinasi untuk menarik hype pengunjung.

mesuem kretek

#Museum Kretek
Dikenal juga sebagai kota kretek–karena hampir semua brand rokok besar bermarkas di kota Kudus–maka Museum Kretek menjadi salah satu daya tarik traveler ke kota Kudus. Di area tersebut, traveler dapat menyingkap sejarah seputar perusahaan sekaligus pengusaha pertama produk rokok di Kudus pada tahun 1906 silam.

Adalah M. Nitisemito sebagai pengusaha pertama produk rokok di Kudus, dengan brand Bal Tiga. Yang menarik, Nitisemito sudah “melek” branding dan promosi. Dapat dibayangkan, bagaimana Nitisemito lewat brand Bal Tiga mampu mensponsori acara pasar rakyat, menyebar flier dari atas helikopter, hingga consumer promo berupa hadiah piring dan gelas.

Selain menampilkan sejarah produk kretek di Kudus berikut diorama proses pembuatan kretek dan mesin-mesin pembuat kretek, di Museum Kretek tersaji pula silsilah para pengusaha kretek di Kudus. Sebut saja, pengusaha kretek dari merek Bal Tiga, Djarum, Nojorono, hingga Sukun—di mana Djarum, Nojorono, dan Sukun-lah yang masih eksis hingga sekarang. Selain itu, traveler juga dimanjakan dengan Rumah Kudus, rumah khas orang Kudus yang padat ukiran-ukiran kayu dan penuh dengan spot-spot untuk berfoto di sana.

Lagi-lagi, sang pemerintah daerah setempat selaku pengelola Museum Kretek nyaris tak melakukan upaya branding. Tak ada brosur atau flier di area museum, tampilan museum yang seadanya—bahkan nyaris tak terawat, aktivitas yang minim di area museum yang notabene dapat menarik animo pengunjung untuk datang ke museum, hingga nihil branding.

Padahal, pemerintah daerah setempat dapat menggandeng swasta—dalam hal ini perusahaan rokok yang ada di Kudus—untuk merestorasi sekaligus melakukan branding. Misalnya, dengan menyisihkan bujet CSR (Corporate Social Responsibility) mereka untuk restorasi sekaligus kampanye Museum Kretek.

Pemerintah daerah setempat, sebenarnya, dapat memanfaatkan area kosong di Museum Kretek sebagai experience zone untuk para traveler. Di area itu, traveler diajak untuk dapat membuat langsung kretek dengan mesin tradisional. Di sana, dapat dihadirkan juga mbok-mbok yang bertugas mendampingi dan mengajarkan pengunjung untuk membuat kretek. Tampilan zona yang dengan desain yang menarik, tentu dapat menjadi spot foto yang menarik untuk pengunjung.

Di Rumah Kudus misalnya, pengelola museum dapat juga menyediakan kostum khas Kudus, yang dapat disewakan. Dengan menyewa dan mengenakan baju adat khas Kudus, maka traveler pastinya akan mengabadikan foto mereka di sana. Dan, tidak tertutup kemungkinan, mereka akan memamerkannya di akun social media mereka.

Selain itu, pengelola museum sebenarnya dapat memanfaatkan lahan kosong lainnya sebagai aula berkapasitas ratusan orang. Area aula tersebut dapat digunakan sebagai activity dan creative center yang dapat disewakan kepada perusahaan untuk menggelar aktivitas mereka di sana.

Selain membenahi produk destinasi, pengelola museum, juga dapat membenahi kampanye komunikasi mereka dengan memanfaatkan social media—yang notabene berbiaya lebih murah. Tentu saja, di social media tersebut, para pengelola harus aktif menciptakan engagement.

Pemerintah daerah setempat atau pengelola destinasi sebenarnya dapat menggandeng komunitas atau individu yang concern dengan dunia traveling. Contohnya, akun pemilik instagram @SekitarKudus dengan 51,2 ribu follower, rutin mem-posting dan mengkomunikasikan aneka destinasi atau hal apapun terkait Kudus yang wajib dijelajahi oleh para treveler. Destination image yang ditampilkan akun @SekitarKudus dibuat dengan sangat menarik, sehingga mengundang penasaran para traveler.

menara kudus

Destinasi lain yang sebenarnya juga berpotensi di Kudus adalah ikon atau landmark gerbang utama saat memasuki Kota Kudus. Landmark anyar yang baru saja diluncurkan tahun ini oleh Djarum Group, sejatinya dapat dikomunikasikan atau dibranding layaknya Monas sebagai ikon ibukota Jakarta.

Kudus juga dikenal sebagai surganya kuliner. Oleh karena itu, Kudus punya Taman Bojana, pusat kuliner khas Kudus. Mulai dari sate Kebo, Letog, Jenang Kudus, soto Kudus, hingga nasi Opor Sunggingan.

Lokasi lain yang dapat dikunjungi di Kudus adalah Menara Kudus yang juga menyajikan Mesjid Kudus, air terjun Montel, Pasar Kliwon sebagai pasar terbesar di Jawa Tengah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *