Fakta Experiential Public Relations itu Relevan

Tantangan perusahaan sepanjang kiprahnya adalah bagaimana mempertahankan pelanggan saat ini dan menarik pelanggan baru. Grunig dan kawan-kawannya (2002) melihat lingkungan yang dinamis seperti itu sebagai elemen penting dari hubungan masyarakat yang baik.

Lingkungan yang berubah membutuhkan perubahan pula dalam pola dan kebijakan komunikasi yang dilakukan perusahaan. Implikasinya keahlian dan kecakapan yang dibutuhkan juga berubah. Pada waktu dan keadaan yang berbeda, kata Grunig, jenis keahlian tertentu lebih penting daripada yang lain.

Untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan kesuksesan organisasi—misalnya, kecakapan di bidang manufaktur selama Revolusi Industri sangat dibutuhkan, bidang keuangan menjadi sangat penting saat era merger dan akuisisi, pemasaran ketika merek dan perushaan baru bermunculan, atau sumber daya manusia selama perampingan.

Secara historis, perusahaan cenderung produk-sentris. Skala dan ruang lingkup ekonomi menjadi pertimabngan yang sangat penting, karena keuntungan terutama merupakan cerminan pangsa pasar. Akibatnya, perusahaan lebih berorientasi internal, dengan perhatian mereka terfokus pada pembuatan produk unggulan daripada berorientasi pada pembeli dan pengguna produk tersebut (Levitt 1960). Singkatnya, efisiensi produksi memegang prioritas tertinggi.

Revolusi teknologi informasi (TI) di bagian akhir abad ke-20 memperkenalkan peningkatan luar biasa dalam mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, dan mentransmisikan sejumlah besar informasi. Perusahaan menyadari bahwa perubahan ini menghadirkan peluang besar untuk berinvestasi di TI untuk mengelola hubungan pelanggan.

Manajemen hubungan pelanggan (Customer Relationship Management) menjadi kata kunci dan perusahaan mulai menginvestasikan miliaran rupiah untuk membangun dan memperkuat perangkat lunak CRM, inisiatif pemasaran basis data, dan infrastruktur TI untuk mendukung pemasaran berbasis teknologi. Perusahaan-perusahaan ini termotivasi oleh kesempatan untuk membangun dan mencapai dialog yang berkelanjutan di semua titik kontak pelanggan. Perlakuannya dipersonalisasi pada titik  paling berharga pada pelanggan.

Kini – ketika strategi bersaing makin berfokus pada pelanggan, semakin banyak organisasi yang bergantung pada hubungan masyarakat. Sampai beberapa tahun lalu, public relations berkembang dengan konsep inti bercerita. Orang berusaha untuk bercerita dan berkata-kata, orang mengasah kemampuannya untuk menyampaikan pesan yang menarik, dinikmati oleh konsumen, pemerintah, media, dan siapa pun. Ujungnya adalah membangun hubungan.

Kemudian media sosial tiba. Seperti ditulis Faaez Samadi di PR Week, June 2016 silam, pada awalnya media sosial datang dengan mengorbankan cerita yang bagus, karena orang-orang mengutamakan kecepatan interaksi di atas makna dari interaksi itu sendiri. Untungnya tren itu, meskipun tidak sepenuhnya hilang, kini menjadi lebih jarang. Media sosial dan cerita kini menjadi teman tidur yang menyenangkan.

Integrasi media sosial dan cerita, ditambah perubahan perilaku konsumen milenial, muncullah gelombang kedua, pengalaman (experiential). Dalam konteks marketing, Experiential Marketing ada di berbagai industri. Perusahaan telah beralih dari pemasaran "fitur-dan-manfaat" tradisional ke arah menciptakan pengalaman bagi pelanggan mereka.

Tags:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)