Ketika Penanganan Krisis Delay Mempertaruhkan Reputasi Maskapai

Setiap maskapai, baik low cost carrier maupun full services airlines, berpotensi menghadapi keterlambantan penerbangan (delay). Termasuk, Lion Air, maskapai yang kini tengah mengalami delay berkepanjangan, hingga berujung pada krisis. Citilink dan Air France adalah contoh maskapai yang sanggup menangani delay hingga tak berujung pada krisis.

airlines

Sudah seharusnya maskapai menyikapi delay penerbangan secara serius, alias tidak dianggap sebagai hal yang biasa terjadi. Hal itu menjadi perlu dilalukan, agar krisis delay tak berbuntut pada stigma negatif, bahkan menggerus reputasi maskapai.

Diungkapkan Troy Pantouw, Wakil Ketua Umum BPP Perhumas 2011-2014 yang juga pengamat professional komunikasi perusahaan yang saat ini bekerja di sebuah perusahaan consumer goods global di Jakarta, bisnis airlines adalah bukan semata menerbangkan penumpang ke destinasi. Namun, melibatkan unsur keamanan, kenyamanan, presisi, dan tanggung jawab sosial.

Diakui Troy, bilamana ada ketimpangan atas hal-hal tersebut tentunya taruhannya adalah reputasi, yang selanjutnya berdampak pada tingkat okupansi penumpang akan menurun. Celakanya, konsumen atau penumpang terkadang menisbikan kelemahan atau kekurangan dari airlines, dikarenakan faktor harga yang ditawarkan relatif rendah dibandingkan maskapai lain dan ketersediaan rute yang tersedia. Sehingga sering menjadi ‘take it for granted’ atau mengeruk di tengah keuntungan atas daya pilih yangg tidak banyak dari konsumen.

“Ke depan, apalagi di tengah Indonesia mempersiapkan Masyarakat Ekonomi ASEAN akhir 2015, maskapai di Indonesia harus memperbaiki kinerja teknis dan pelayanan yang lebih bermutu,” anjur Troy.

Public Relations (PR) adalah salah satu upaya yang dapat dilakukan guna me-recovery kasus delay. Namun, menurut Troy, PR adalah berbicara mengenai keterbukaan informasi dan mengolah komunikasi kepada target audience dengan medium komunikasi yang tepat. PR bukanlah masalah selera dan sekadar bagusnya tatanan kata, namun sangat berurusan dengan riset, perencanaan, organizing, budgeting, strategy, networking, monitoring, evaluation atau instropeksi, re-shaping atau penajaman kembali, dan decision atau pengambil keputusan.

“PR bukanlah pembuat propaganda dan bukan pemasar produk. Fungsi PR adalah jembatan komunikasi antara pelaku usaha atau institusi dengan pemangku kepentingan. Termasuk di dalamnya adalah sebagai ‘leader’ atau pemimpin yang dapat memberi masukan dan ‘kompas atau arahan bagi perusahaan, sekaligus memiliki kredibilitas dalam menghadapi dan mengatasi isu dan krisis yang didera perusahaan,” tegasnya.

Oleh karena itu, PR di perusahaan maskapai penerbangan sudah seharusnya sangat mengutamakan kemutakhiran dalam menjalankan teknik dan pendekatan kehumasan. “Mau tidak mau, organisasi PR di maskapai penerbangan harus digarap secara serius serta ditangani oleh para profesional yang memiliki jam terbang. Sama seperti pilot, yang cukup dan memiliki karakter yang kuat, baik sebagai seorang pemimpin maupun memiliki kedekatan hubungan dan pengaruh ke berbagai pemangku kepentingan terkait. Terutama, bila isu dan krisis melanda maskapai tersebut,” lanjut Troy.

Peran PR seharusnya menjadi esensial, alias bukan sekadar defensif atau hanya "asal bos senang". Dituturkan Troy, “Ada tanggung jawab moral di balik itu, karena menyangkut keselamatan penumpang. Bahkan, dalam skala lebih besar berurusan dengan nama baik negara Indonesia. Karena masalah yang terjadi di maskapai penerbangan akan berbuntut pada reputasi bangsa Indonesia. Mengapa? Karena, maskapai penerbangan berkaitan dengan fasilitas umum bersama, bersinggungan dengan bandara, traffic, dan sebagainya yang juga dipakai oleh maskapai lainnya.”

Lantas, perlukah tindakan prefentif, begitu maskapai menyadari bahwa pesawat akan delay, sehingga amuk massa tidak muncul? Dijawab Troy, dalam konteks kehumasan, antisipasi dalam situasi isu dan kondisi darurat harus dijadikan "protap" (prosedur tetap) atau SOP (Standard Operation Procedure).

“Maskapai penerbangan selayaknya dikenal memiliki antisipasi yang kuat termasuk kedisiplinan untuk secara regular mengadakan pelatihan dalam situasi darurat, baik pada tatanan persoalan kepegawaian, administrative, maupun terkait pelayanan penumpang dan musibah berskala kecil, menengah, dan besar,” yakinnya.

Pages: 1 2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)