Ketika hubungan kuat terjalin, kepercayaan terhadap organisasi semakin tinggi. Selanjutnya, organisasi yang memiliki kepercayaan tinggi, para pemangku kepentingan percaya bahwa organisasi memiliki integritas, transparansi, dan nilai organisasi. Elemen-elemen ini merupakan dasar bagi terbangunnya reputasi.
Ketika berbagai pemangku kepentingan percaya meningkat, pemangku kepentingan cenderung memberikan dukungan ketika organisasi berada pada masa-masa yang sulit. Misalnya, ketika kepercayaan pemangku kepentingan pada organisasi tinggi, dalam konteks hubungan dengan media, organisasi dimungkinkan untuk menyampaikan pesan secara cepat dan akurat selama krisis (Wolf & Archer, 2018).
Modal sosial juga memungkinkan organisasi memobilisasi sumber daya dan membangun aliansi strategis. Misalnya, ketika hubungan organisasi dengan mitra bisnis kuat, kondisi membuka peluang inovasi atau kolaborasi lintas sektor yang menguntungkan kedua belah pihak (Wolf & Archer, 2018).
Dalam konteks ini, peluang kolaborasi organisasi dan pemangku kepentingan sangat besar. Pemangku kepentingan terlibat aktif dan memberikan wawasan, umpan balik, dan ide yang selanjutnya membantu organisasi meningkatkan kinerja atau inovasi.
Sebagai contoh, hubungan dengan pelanggan melalui media sosial memungkinkan perusahaan seperti Coca-Cola melibatkan konsumen dalam kampanye personalisasi seperti "Share a Coke," yang memperkuat koneksi emosional dengan merek mereka (Allagui & Breslow, 2016).
Dalam artikelnya, Wolf dan Archer mengkritik praktek yang selama ini berlangsung. Menurut mereka, adopsi teknologi digital dalam PR sering kali tidak sepenuhnya mengoptimalkan potensi hubungan dialogis yang ditawarkan oleh teknologi tersebut. Sebaliknya, banyak praktisi justru menggunakan pendekatan berbasis iklan yang menitikberatkan pada kontrol pesan dan hasil jangka pendek, yang bertentangan dengan prinsip dasar PR sebagai pembangun hubungan strategis jangka panjang.
Pendekatan berbasis iklan, dengan fokus pada kontrol pesan dan hasil jangka pendek, memiliki dampak yang signifikan terhadap fungsi, nilai, dan keberlanjutan PR. Pendekatan ini, yang sering kali bertentangan dengan prinsip dasar PR sebagai pembangun hubungan strategis jangka panjang, dapat melemahkan peran fundamental PR sebagai mediator antara organisasi dan pemangku kepentingannya.
Pada intinya, Wolf dan Archer menggarisbawahi bahwa untuk mempertahankan relevansi di tengah konvergensi fungsi komunikasi digital, PR perlu merebut kembali kompetensinya sebagai pembangun hubungan strategis yang autentik. Dalam kontek ini, modal sosial dapat menjadi landasan untuk membangun kepercayaan dan kolaborasi antara organisasi dan pemangku kepentingannya, sebuah elemen yang semakin relevan dalam lingkungan digital yang terus berkembang.
Daftar Pustaka
Adler, P. S., & Kwon, S.-W. (2002). Social capital: Prospects for a new concept. Academy of Management Review, 27(1), 17–40. https://doi.org/10.5465/amr.2002.5922314
Bourdieu, P. (1997). The forms of capital. In A. H. Halsey, H. Lauder, P. Brown, & A. Stuart Wells (Eds.), Education: Culture, economy, and society (hlm. 46–58). Oxford University Press.
Bourdieu, P., & Wacquant, L. J. D. (1992). An invitation to reflexive sociology. University of Chicago Press.
Putnam, R. D. (2000). Bowling alone: The collapse and revival of American community. Simon & Schuster.
Wolf, K., & Archer, C. (2018). Public relations at the crossroads: The need to reclaim core public relations competencies in digital communication. Journal of Communication Management, 22(4), 494–509. https://doi.org/10.1108/JCOM-08-2018-0080