Sekadar Dimuat, Dibaca, atau Mempengaruhi Pembaca?

Beberapa waktu lalu, saya kebetulan diminta teman-teman untuk menjadi juri Best Corporate Initiative oleh teman-teman di Majalah Mix. Ada puluhan kegiatan yang masuk dan umumnya harus saya akui bagus-bagus.

Kebetulan saya – bersama sahabat-sahabat dari Telkom University -- juga pernah diminta teman-eman di SWA untuk menjadi juri Best e-Marketing. Ini juga bagus-bagus.

Namun demikian, ada yang mengganggu pikiran saya tentang bagaimana teman-teman praktisi public relations (PR) dan marketing menggunakan tolok ukur keberhasilan sebuah kegiatan mereka. Dari laporan kegiatan yang masuk atau dipresentasikan, saya menjumpai banyak laporan yang menyertakan pencapaian dengan menampilkan liputan media atau publisitas.  

Unsur utama public relations adalah publisitas. Ini menyiratkan komunikasi tentang produk atau organisasi dengan menempatkan informasi tentang hal perusahaan atau produk di media tanpa membayar waktu dan ruang secara langsung. Publisitas dalam bentuk yang paling sederhana adalah sarana untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat umum melalui media.

Kemampuan untuk menciptakan publisitas inilah yang membedakan antara seorang praktisi public reations dan periklanan. Ini berarti salah satu tugas penting dari praktisi PR adalah mendorong  pergerakan informasi ke masyarakat umum melalui media. Informasi yang dipublikasikan dapat berupa berita, kesadaran tentang produk dan layanan, dan lain-lain. Ini adalah proses menciptakan kesadaran produk dan layanan baru.

Selama bertahun-tahun – bahkan mungkin sampai sekarang -- praktik menggunakan harga kesetaraan tarif iklan yang ditawarkan penerbit (diukur dalam biaya per kolom) sering berlangsung. Kesetaraan ini digunakan dengan asumsi artikel yang dipublikasikan media memberikan ukuran nilai dari sentimeter kolom editorial. Padahal, penggunaan nilai kesetaraan iklan (AVE) ini menyesatkan.

Gagasan ini merupakan implikasi dari pemikiran yang pada intinya menyamakan pengiriman pesan dengan mengkomunikasikan pesan, atau penyebaran informasi disamakan dengan komunikasi. Disini praktisi public relations, terutama media relations, menggunakan penempatan media, semisal guntingan atau kliping berita) sebagai bukti telah terjadnya komunikasi. 

Dari sini muncul pertanyaan, dalam konteks media relations, apakah press release misalnya ukuran keberhasilannya sekadar dimuat, dibaca pembaca, kontennya positif atau mengubah persepsi pembaca pada perusahaan atau pemberi release?

Kiliping telah lama digunakan sebagai dasar analisis isi. Analisis isi hanya mengindikasikan apa yang tercetak dan disiarkan, bukan apa yang dibaca atau didengar. Analisis isi juga tidak mengukur apakah khalayak menerima dan percaya atas isi pesan. Dengan kalimat lain, analisis isi kliping surat kabar memberi ukuran yang berguna dari pesan yang sedang ditayangkan media, tetapi tidak mengindikasikan jumlah pembaca dan dampaknya.

Editorial juga bukan iklan yang kontennya bisa diatur orang lain sebagaimana iklan. Editorial adalah kewenangan redaksi. Informasi yang diberikan praktisi PR bisa diolah lagi oleh redaksi agar sesuai dengan kepentingan pembacanya. Itu sebabnya, kontennya bisa positif atau negatif buat perusahaan.

Karenanya, mempersamakan atau memperbandingkan editorial dan iklan dianggap menyesatkan. Ini seperti membandingkan apel dengan jeruk. Editorial hadir dalam berbagai bentuk dan kisarannya mulai dari berita hingga komentar pembaca.

Di sisi lain, iklan dapat berupa tampilan, diklasifikasikan atau advertorial dan banyak variasi di antaranya. Dinilai menyesatkan karena beberapa orang memiliki ukuran nilai iklan yang akurat mungkin juga tidak, meskipun mereka sebenarnya memiliki pandangan yang jelas tentang biayanya.

Pages: 1 2
Tags:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)