Agar Bisnis Kecap Tetap Manis, Apa yang Dilakukan Bango dan ABC?

Ekonomi boleh saja lesu, namun bisnis makanan dan minuman masih terus bergairah. Pada semester pertama tahun 2015, seperti yang dikutip dari keterangan pers Kementerian Perindustrian, pertumbuhan industri makanan dan minuman nasional mencapai 8,46%. Bahkan, nilai ekspor produk makanan dan minuman pada Mei 2015 mencapai US$ 2.263,1 juta atau naik 4,05% jika dibandingkan dengan nilai ekspor pada Mei 2014.

kecap

Menariknya, manisnya produk kecap mampu berkontribusi cukup siginfikan terhadap industri makanan dan minuman. Hal itu ditandai dengan adanya 94 unit usaha industri kecap di Tanah Air yang berskala menengah-besar dengan nilai produksi pada tahun 2014 mencapai Rp 7,1 triliun. Sementara itu, ekspor produk kecap mengalami tren peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2014 ekspor kecap tembus US$ 14,2 juta. Kemudian, pada periode Januari hingga Juni 2015, ekspor kecap mencapai US$ 7,6 juta.

Tak mengherankan, di tengah kondisi ekonomi yang mencekik seperti sekarang, PT Unilever Indonesia Tbk. tetap Pe-De (percaya diri) untuk meresmikan pabrik barunya di Kawasan Industri Jababeka, Cikarang, Jawa Barat, hari ini (25/8). Pabrik seluas 63.000 meter persegi itu memiliki kapasitas produksi sebanyak 7 miliar pieces per tahun untuk produk bumbu Royco dan kecap Bango. Tak kurang Rp 820 miliar diinvestasikan Unilever untuk pabrik barunya itu. Sebelumnya, pada Mei 2015, Bango kembali mengkampanyekan program “Festival Jajanan Bango” dengan memanfaatkan strategi Integrated Marketing Communication.

Dinilai Iriana Muadz, CEO GRICE – Business Strategy and Execution Advisory, yang pernah menjadi Direktur Marketing di salah satu produk kecap di Indonesia, Bango masih mampu berkibar sebagai pemain nasional yang tangguh. “Dukungan supply chain dan organisasi distribusi yang baik hingga ke ratusan distributor membuat Bango bisa bertahan sementara waktu tanpa iklan, karena ada efek residu dari iklan-iklan sebelumnya,” katanya.

Menurut analisis Iriana, berdasarkan pengalaman dua kali krisis ekonomi, ada dua jenis penurunan pada situasi lesu ekonomi. Pertama adalah penurunan belanja ritel. Artinya, toko membeli lebih sedikit dibandingkan kondisi ekonomi yang tengah membaik. Terutama, ukuran kemasan yang harga per kemasannya relatif mahal. “Ukuran kemasan sachet biasanya bisa lebih bertahan terhadap tekanan ekonomi,” yakinnya.

Kedua, penurunan volume konsumsi masyarakat. “Rumah tangga bisa beralih membeli ukuran kemasan yang lebih kecil, atau mengurangi frekuensi pemakaian, atau membeli brand yang lebih murah, tidak terkecuali pada produk kecap,” tambah Iriana.

Efek dari melesunya ekonomi, diprediksi Iriana, adalah beralihnya konsumen ke brand yang lebih murah. “Kalaupun tetap bertahan di brand yang sama, maka konsumen kecap akan beralih ke ukuran yang lebih kecil. Akibatnya, secara total value dan volume, total besaran pasar akan mengalami kontraksi,” tegasnya.

Lantas, bagaimana seharusnya para produsen kecap menghadapi situasi ekonomi yang kurang bersahabat, demi mempertahankan kinerja bisnis mereka? Disarankan Iriana, bagi perusahaan yang hanya memiliki satu brand, ada empat langkah yang dapat dilakukan. Pertama, fokuslah pada portfolio SKU yang ada demand-nya dan memiliki profitability yang baik. “Ini dilakukan untuk menjaga kestabilan cashflow perusahaan dengan optimalisasi bahan baku hingga ke inventory di semua lini supply chain produk,” kata Iriana beralasan.

Langkah kedua, fokuskan belanja marketing pada consumer retention, misalnya consumer promotion. “Lupakan dulu consumer acquisition,” anjurnya. Langkah ketiga, tunda rencana peluncuran inovasi di segmen yang membutuhkan consumer education lama. Langkah keempat, segerakan inovasi di-maintenance kesehatan profitability brand.

Bagi perusahaan yang memiliki dua brand, menurut Iriana, gunakan salah satu brand untuk melayani segmen konsumen yang ingin berpindah ke merek yang lebih murah. Itu sebabnya, sangat logis jika ABC Heinz yang memiliki lebih dari satu merek kecap—antara lain kecap ABC untuk pasar nasional dan kecap HOKI untuk pasar Sumatra—melakukan flanking strategy dengan brand HOKI.

Jika kecap ABC digunakan untuk menghadapi Bango, maka brand HOKI yang merupakan second brand dari kecap ABC, dihadirkan untuk melayani segmen konsumen yang ingin downtrading. Dibandingkan dengan ABC, kecap HOKI memang dibandrol dengan harga yang lebih murah. “Daripada bertarung dengan kecap Sedaap dari Wings Group dengan memakai merek ABC, maka mungkin HOKI akan lebih pas (tepat—red) untuk bertarung di segmen harga yang menengah ke bawah,” urai Iriana.

Tags:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)