Media yang baru kali pertama digunakan oleh brand —sebelumnya digunakan untuk kampanye calon Walikota Solo – itu cukup memuaskan Olympic. Ketika itu penjualan produk-produk display mencapai Rp 200 juta. Sementara itu, selama satu bulan—pada saat acara berlangsung—penjualan Olympic di Solo mengalami kenaikan 50%. Setelah acara, tiap bulannya kenaikan penjualan hanya 25%-30%.
Pendekatan cara berpikir tersebut mengajarkan pada thinking out of the box tapi eksekusi inside the box. Yang seringkali terjadi, banyak pemasar atau pemilik merek mau inovatif dan menggunakan cara-cara baru atau channel-channel baru, tapi malah tidak tepat. Seperti halnya prinsip marketing, pemasar harus mengenali produk dan target sasaran dengan sangat baik. Setelah itu, memperkaya informasi dengan cara-cara baru, terutama potensi internet sebagai media baru. Harus diakui, pengguna internet tumbuh subur, terutama di kalangan anak muda kelas menengah atas. Disinilah kejelian melihat peluang baru dibutuhkan.
Lalu, bagaimana mengintegrasikan dan mengoptimalkan channel-channel baru tersebut? Yang pertama-tama, mulai dari kecil dulu, dengan menyesuaikan produk dan target pasar yang disasar. Itu berarti sebelum menggunakan channel baru, pemasar menetapkan lebih dulu syarat, efektivitas dan kesesuaian dengan target konsumen.
Tepat, karena penggunaan channel tersebut sudah memenuhi aspek feasibility. Efektif karena channel yang digunakan sesuai dengan target yang diinginkan dan dari sisi bujet feasible. Sedangkan dari sisi target konsumen, harus sesuai dengan habits konsumen, yakni membeli handphone di mal, gerai atau counter. Intinya, jangan sampai mengubah perilaku (habits) mereka.
Penggunaan channel-channel baru juga harus tetap memperhatikan kebutuhan produk itu sendiri, sehingga bisa optimal dan terintegrasi. Sebab pada kenyataannya, channel baru tidak bisa berdiri sendiri. Channel baru harus tetap harus ditopang oleh channel-channel lama. Oleh karena itu, beberapa pemasar cenderung memilih bergerak dari sisi konsumennya, yakni dengan menggunakan integrated marketing communications (IMC); menempatkan konsumen di titik tengah.
Disini diperlukan pemahaman konsumennya, dari bangun pagi di rumah, lalu jalan ke kantor, makan di rumah makan, malam belanja di supermarket, hingga pulang ke rumah. Dengan melihat aktivitas konsumen yang dibidik, pemasar bisa memilih channel mana yang kira-kira bisa dimasuki.
Jadi, yang menjadi pertimbangan dalam menerapkan IMC adalah pertama, memilih touch point mana yang tepat untuk brand bersangkutan. Kedua, mendeteksi sudah siapkah konsumen menerima pesan brand bersangkutan pada waktu yang telah ditetapkan. Yang yang ketiga, apakah media yang dipilih sudah tepat.Jadi, IMC itu lebih dari sekadar penggunaan seluruh media.