Dalam Komunikasi Krisis, Apakah Meminta Maaf itu Keharusan?

Ketika komentar itu memicu kemarahan, Lauten memposting permintaan maaf yang isinya sebagai berikut: "Setelah berjam-jam berdoa, berbicara dengan orang tua saya dan membaca-ulang kata-kata saya yang tulis online, saya bisa melihat dengan lebih jelas bagaimana menyakitkan kata-kataku itu. Perlu diketahui bahwa perasaan menghakimi seperti itu benar-benar tidak punya tempat di hatiku. Selain itu, saya ingin meminta maaf kepada semua orang yang merasa terluka dan tersinggung dengan kata-kata saya, dan berjanji untuk belajar dan tumbuh (dan saya meyakinkan Anda saya punya) dari pengalaman ini. "

Hasilnya? Dia kehilangan pekerjaannya, dan sama sekali tidak punya poin dari siapa pun untuk meminta maaf padanya.

Michael Jackson membantah tuduhan yang dikenakan terhadap dirinya. Bill Cosby juga menyangkal apa yang dikatakan orang-orang terhadap dirinya. Jika Anda berpikir dua penghibur itu menderita serius karena tidak menyatakan maaf, coba bayangkan sekarang bagaimana nasibnya jika mereka mengakui bahwa dugaan tuduhan itu akurat.

Internet telah mengubah permainan. Ada ada lagi penjaga gerbang. Tidak ada lagi aturan kesopanan atau alasan. Bahkan jika Anda berhasil membujuk produser beberapa TV, editor dan penulis dengan permintaan maaf Anda, apa yangterjadi? Mereka tenggelam oleh hiruk-pikuk kekacauan dan online.

Dalam kasus Lauten misalnya, meski telah minta maaf, namun orang-orang dalam media sosial masih menjuluki dia sebagai manusia dengki. Perintaan maaf akan tenggelam oleh suara yang paling keras, suara pemarah. Sebuah studi yang dilakukan peneliti University of Iowa pada situs terbesar, Yahoo Finance menemukan bahwa 50% dari semua komentar itu datang dari hanya 3% dari komentator. Kedua, 75% komentar itu berasal dari hanya 11% diantara mereka.

Jelas, jika Anda berada dalam situasi yang sama sekali tidak dapat dipertahankan Anda akan punya pilihan selain untuk meminta maaf. Tapi hal itu jarang terjadi daripada yang sering kita perkiraan.

Lauten mungkin akan menjadi lebih baik jika dia menolak untuk mundur. Sebaliknya, misalnya, dia mungkin menunjukkan bahwa putri Presiden Carter, Amy, juga pernah dikritik secara luas oleh media beberapa tahun lalu karena dia membaca buku di ruang makan Gedung Putih. Padahal, saat itu Amy baru berusia sembilan tahun.

Melalui media, Lauten bisa saja menyerang orang lain yang memberikan lampu hijau kepada remaja untuk muncul di acara-acara formal orang tua mereka dengan bercelana kargo, t-shirt, dan celana pendek.

Jadi, apakah meminta maaf itu perlu? Menurut saya perlu, bahkan harus. Meminta maaf bukan berarti kita melakukan kesalahan besar, tapi setidaknya dengan meminta maaf kita mengakui bahwa kita membuat mereka menjadi tinyak nyaman.

Pages: 1 2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

2 thoughts on “Dalam Komunikasi Krisis, Apakah Meminta Maaf itu Keharusan?”

saya setuju.. pointnya sebenarnya yang mana.. jadi sebaiknya meminta maaf atau tidak?
by zesiva, 08 Feb 2015, 15:55
Tulisan ini bagus sekali tapi ambigu intinya. Maafkan saya yang barangkali kurang cerdas atau tidak cermat dalam membaca, tapi saya tidak menemukan intisari pointnya dalam paragraf penutup (yang menurut saya mengharuskan minta maaf). Agak bertentangan dengan paragraf-paragraf sebelumnya.
by tok, 29 Dec 2014, 11:07

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)