Dalam lima tahun terakhir, industri packaging atau kemasan di Indonesia masih tercatat bertumbuh. Meski pertumbuhannya hanya single digit—padahal lima tahun sebelumnya masih bertumbuh double digit—namun nilai bisnisnya masih sangat menggiurkan. Nilai bisnis industri kemasan di Tanah Air, tahun ini mencapai US$ 6,1 juta hingga US$ 6,2 juta. Satu atau dua tahun ke depan, industri kemasan di Indonesia masih diprediksi tumbuh hingga 8-9%.
Diterangkan Henky Wibawa, Executive Director Indonesia Packaging Federation, material kemasan yang paling banyak berkontribusi pada industri kemasan di Indonesia adalah flexible packaging, yakni mencapai 45%. Tingginya kontribusi tersebut, karena tingginya permintaan untuk segmen produk home care, kuliner, farmasi, snack & confectionery, fresh foods, frozen foods, dairy, beverages, ready meals, dan pet food.
“Permintaan flexible packaging tumbuh 9% sampai 10% per tahun untuk semua segmen. Penggunaan flexible packaging utuk segmen beverages, dairy, serta home and personal care, didorong oleh perkembangan varian baru dari produk maupun desain kemasan,” papar Henky, hari ini (24/11) di Jakarta pada saat seminar tentang Interpack 2016, yakni pameran terbesar industri pengemasan yang segera digelar di Jerman.
Selanjutnya, kontribusi terbesar berikutnya adalah kemasan dengan material paperboard (29%), rigid plastic (15%), metal cans atau kaleng logam (4%), woven bag atau tas anyaman (4%), serta glass contain atau berbahan gelas (3%).
Lantas, apa yang mendorong pertumbuhan pasar kemasan di Indonesia saat ini? Dijawab Henky, ada sejumlah hal yang mendorong pertumbuhan industri kemasan di Tanah Air. Pertama adalah pertumbuhan di pasar ritel, baik tradisional maupun modern channel. Kedua, meningkatnya kelas menengah Indonesia yang mengarah pada gaya hidup modern, sehingga berujung pada meningkatnya produk berkemasan. Ketiga, produk kemasan kecil atau sachet makin disukai konsumen.
Keempat, bertumbuhnya pemasaran yang proaktif dengan menawarkan solusi kemasan yang inovatif. Kelima, industri dan persaingan bisnis yang makin kompetitif. Keenam, adanya sensitivitas harga dan harapan yang berbeda dari konsumen terkait kualitas. Ketujuh, adanya peraturan baru mengenai limbah kemasan plastik, yang harus bertanggung jawab atas pengelolaan lingkungan. Kedelapan, percepatan pembangunan infrastruktur yang akan meningkatkan efesiensi dari transportasi sekaligus menurunkan biaya logistik.
Berangkat dari fakta itu, menurut Henky, ada tiga tantangan besar yang dihadapi industri kemasan di Indonesia. Pertama, bagaimana pemasar dapat melakukan efesiensi cost dalam membaut kemasan untuk produk mereka. Kedua, bagaimana menciptakan kemasan yang menarik yang mampu menarik hati konsumen. Ketiga, bagaimana menciptakan kemasan yang “menjual”, alias yang ramah lingkungan dan langsung terhubung dengan konsumennya.
Guna menjawab tantangan itu, Henky menerangkan bahwa ada sejumlah cara yang dapat diambil pemasar di era digitalisasi seperti sekarang. Cara pertama adalah memanfaatkan Internet of Thing (IoT) dalam proses produksi kemasan. Cara kedua adalah memanfaatkan teknologi 3D printing, sehingga kemasan produk dapat lebih interaktif dan imaginatif bagi konsumen. Ketiga, Recycling, yakni memanfaatkan teknologi yang membuat kemasan dapat didaur ulang.
Di pasar global sendiri, ditambahkan Deputy Director Interpack Messe Dussledorf GmbH Thomas Dohse, terjadi peningkatan permintaan terhadap mesin pemrosesan dan pengemasan. Merujuk data VDMA (Asosiasi Insinyur Jerman), perdagangan mesin pemrosesan dan pengemasan dunia meningkat 52% pada sepuluh tahun terakhir. Nilai bisnisnya mencapai 38 miliar Euro di tahun 2015. Namun, total investasi diprediksi lebih besar, mengingat mesin yang beredar tidak seluruhnya tercatat.
Dari angka itu, permintaan terbesar datang dari Eropa, yakni 33% atau sekitar 12,5 miliar Euro. Selanjutnya, diikuti oleh Asia yang menempati posisi terbesar kedua, yakni mencapai 8,2 miliar Euro atau 22%-nya. Selanjutnya, ada Amerika Utara di posisi ketiga terbesar, dengan nilai 5 miliar Euro atau 13%.
...