Tetapi orang-orang masih pergi ke mal karena berbagai alasan. Meskipun penjualan pakaian jadi bergeser ke online, 60% dari mereka yang disurvei lebih suka berbelanja pakaian di mal. Keuntungan dari belanja mal misalnya bisa mengunjungi beberapa toko (39%) dan, terutama, aspek sosial seperti menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman-teman (24%), serta menjadi semacam hari wisata belanja dengan mengunjungi tempat makan atau hiburan (19%).
Pengecer di mall berusaha memanfaatkan umpan sosial yang tidak dapat direplikasi secara online dengan mudah. Mall belum mampu bersaing dalam hal efisiensi seperti di e-commerce. Akan tetapi mall bisa menggunakan pengalaman seperti acara dan restoran tujuan sebagai pembeda.
Studi Jones Lang LaSalle (JLL) terhadap mal-mal yang direnovasi sejak 2014 mendapati, meningkatkan pilihan makanan dan minuman adalah strategi mall yang paling populer (41,1%). Berfokus pada hiburan (28,9%) juga merupakan taktik umum, sementara menciptakan ruang terbuka dan taman (11,1%) dan menambahkan ruang komunitas dan anak-anak (8,9%) dilakukan pada tingkat yang lebih rendah.
Dua puluh tahun lalu, Pine dan Gilmore (1999) memperkenalkan istilah "ekonomi pengalaman." Kosa kata itu menjadi begitu popular karena pada saat itu merek-merek mulai meninggalkan produk dan layanan sebagai kekuatan mereka untuk bersaing. Merek-merek mulai menggunakan pengalaman pelanggan sebagai keunggulan bersaing.
Lima tahun sebelumnya, Holbrook dan Hirschman (1982, hal 132) memperkenalkan konsep experiential consumption. Menurut mereka, dalam konsumsi terdapat dimensi aktivitas rekreasi yang menyenangkan, kesenangan indrawi, lamunan, kenikmatan estetik, dan respons emosional.
Konsumsi melibatkan aliran fantasi, perasaan, dan kesenangan yang terus berlanjut yang disebut sebagai experiential view (pandangan tentang pengalaman). Perspektif pengalaman ini bersifat fenomenologis dan menganggap konsumsi sebagai keadaan kesadaran subjektif dengan berbagai makna simbolis, tanggapan hedonis, dan kriteria estetik.
Definisi yang agak lama ini sudah menunjukkan bahwa pengalaman terdiri dari dimensi perilaku, kognitif dan emosional. Definisi terbaru dalam literatur menentukan pengalaman pelanggan yang terdiri dari dimensi sensorik, kognitif / intelektual, afektif, sosial, dan fisik / perilaku (Brakus et al., 2009; Verhoef et al., 2009). Penelitian yang dilakukan Accenture menunjukkan bahwa sekitar 72 persen pembelanja online di Indonesia menyatakan memilih belanja melalui online lebih karena bisa menghemat waktu ketimbang karena harga.
Dengan pengguna smartphone telah menghabiskan rata-rata 181 menit pada perangkat mereka setiap hari (jumlah waktu tertinggi di manapun di dunia), memang masih terdapat peluang besar untuk mobile commerce. Namun, temuan Accenture tersebut sekaligus menantang peritel fisik utnuk meningkatkan layanannya dengan penghematan waktu tersebut.
Selain soal penghematan waktu, ada faktor-faktor lain yang memotivasi pembelanja digital Indonesia yang juga menantang peritel fisik. Hampir seperempat konsumen digital bersedia membayar harga yang lebih tinggi jika memastikan banyak pilihan, atau kualitas yang lebih tinggi. Pada saat yang sama, hampir setengahnya mengatakan bahwa mereka dengan mudah mengganti merek sesuai dengan promosi berbasis merek. Dan akhirnya, 90 persen sangat menginginkan pengalaman berbelanja multichannel yang mulus.
Dalam konteks pengalaman pelanggan yang lebih luas, pengalaman mal merujuk pada bagaimana pelanggan lebih menikmati pusat perbelanjaan sebagai ruang konsumsi daripada sekadar aktivitas konsumsi yang terjadi di dalamnya (yaitu aktivitas belanja sebenarnya). Bukti empiris menunjukkan bahwa keberhasilan mal saat ini terletak pada kemampuan mereka untuk menawarkan kepada pelanggan pengalaman konsumen dan sosial dalam satu atap (Dennis et al., 2002; Haytko dan Baker, 2004).