Anda pernah dikecewakan oleh merek? Delay jadwal penerbangan
misalnya, berapa kali Anda mengalaminya? Anda beli barang dari suatu merek dan
ternyata tidak sesuai dengan harapan Anda. Layanan yang buruk.
Apakah hal itu membuat Anda marah? Anda bahkan bersumpah
untuk tidak pernah membeli dari merek itu, berbisnis dengan mereka, atau
mendukung mereka dengan cara apa pun.
Anda juga kemungkinan memviralkan pengalaman Anda itu secara online atau
memberi tahu orang-orang terdekat Anda untuk memboikot mereka juga.
Penelitian dalam psikologi membuktikan bahwa emosi negatif memiliki dampak yang jauh lebih kuat pada perilaku daripada yang positif. Namun, kenapa beberapa merek masih saja terus melakukan sesuatu yang membuat konsumennya marah?
Mereka seakan sengaja membuat konsumen marah dengan mengulang dan tidak ada usaha untuk memperbaiki kesalahannya. Bukankah konsumen sekarang semakin peduli dengan penerapan etika oleh perusahaan-perusahaan?
Ketika tekanan dari konsumen atas penerapan etika oleh
perusahaan semakin tinggi, tidaklah mungkin bagi perusahaan untuk mengabaikan
kesadaran arus utama dan minat tentang bagaimana bisnis berinteraksi dengan
masyarakat yang lebih luas tersebut.
Dari sudut pandang konsumen yang melihat keaslian, kesetiaan, keterikatan, dan
resonansi sebagai aset budaya yang paling banyak dicari, mengapa perusahaan
enggan mencari tahu hal-hal yang bisa membuat konsumen marah yang dalam sekejap
bisa memunculkan kebencian terhadap merek?
Benci adalah perasaan alami, seperti cinta. Kebencian merek juga sama umum dengan cinta merek di pasar konsumen, terutama dengan semakin berkembang dan maraknya penggunaan alat komunikasi digital.
Dengan demikian, suka atau tidak suka, setiap merek memiliki pembenci. Meskipun banyak perusahaan melihat pembenci bukanlah sebagai masalah besar, namun mengabaikan mereka merupakan masalah yang lebih besar.
Di era personal branding melalui media sosial seperti
sekarang ini, kebencian merek adalah salah satu cara di mana konsumen
mengidentifikasi siapa mereka, dan siapa mereka. Ini juga merupakan cara
konsumen meminta pertanggungjawaban atas perilaku mereka di masyarakat, termasuk
dengan cara melakukan ancaman yang bisa jadi tidak pernah diwujudkan atau
ancaman kosong.
Dalam era transparansi yang semakin meningkat, representasi
dari merek tidak hanya logo dan lini produk, namun juga merupakan produk
sampingan dari budaya internal organisasi, dan cabang dari praktik bagaimana
sebuah perusahaan berkontribusi pada masyarakat.
Jika sebuah merek tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh komunitas mereka, dan tidak berusaha untuk mewakili apa yang dipedulikan audiens dan masyarakat luas, mereka adalah kandidat utama untuk kebencian merek.
Mereka akan dihukum konsumen misalnya dengan cara memboikot produk atau merek mereka, pindah merek dan balas dendam merek seperti kasak-kusuk kesana kemari sambil menunjukkan beratap jahatnya merek Anda.
Penelitian yang diterbitkan Psychology and Marketing pada tahun...