The New Supercompetitors

Fenomena persaingan pada era sebelum 1990 dan setelahnya sungguh berbeda. Sejak pertengahan 1990-an, sumber keunggulan kompetitif telah bergeser. Bagaimana pergeserannya?

Lima belas tahun silam, saya ngobrol bertiga dengan Margiono, bos Rakyat Merdeka,dan Dahlan Iskan, bos Jawa Pos yang belakangan menjadi Menteri BUMN cabinet SBY. Ketika itu bisnis koran lagi booming. Karena membuat koran tak perlu izin lagi,banyak investor yang ingin berbisnis koran.
Akibatnya, pasar penuh. Setiap hari masyarakat ditawari ratusan koran beragam genre mulai dari politik hingga khusus bola. Penjualan pun seret karena tak mungkin masyarakat membeli semua merek koran. Karena itulah Dahlan nyeletuk, “membuat koran di Jakarta dan berhasil itu benar—benar hebat!”
Sekarang pasar makin penuh. It terjadi di hampir semua kategori produk, bahkan makin marak. Dulu, di Indonesia tak dkenal BB Cream, sekarang penetrasinya luar biasa. Dalam hal iklan, Indonesia menempati posisi kedua di dunia sebagai negara yang memiliki tingkat aktivitas periklanan tertinggi. Orang Indonesia menonton televisi rata-rata 3,5 jam per hari. Dalam kurun waktu tersebut, tak kurang dari 150 iklan telah mereka lihat. Ada 60 iklan baru yang dipublikasikan setiap hari.
Dalam konteks inilah supercompetitors relevan. Judul itu saya ambil dari tulisan Thomas N. Hubbard, Paul Leinwand dan Cesare Mainardi di strategic business. Ketiga penulis mengatakan bahwa sebuah supercompetitor adalah perusahaan bersaing dengan menggunakan kemampuan mereka yang khas untuk menyesuaikan dirinya terhadap dinamika perubahan bisnis.
Inilah yang membedakan fenomena persaingan pada era sebelum 1990 dan setelahnya. Menurut ketiga penulis, sejak pertengahan 1990-an, sumber keunggulan kompetitif telah bergeser. Dulu, perusahaan atau merek-merek menjadi besar karena mendasarkan strategi kompetitif mereka pada aset, posisi, dan skala ekonomi.
Pada awal 1990-an, industri consumer goods didominasi oleh perusahaan-perusahan besar terdiversifikasi dan menjual makanan, minuman, dan produk perawatan pribadi. Unilever, Procter & Gamble, Kraft, Colgate, Nestle, dan Sara Lee masing-masing memiliki berbagai merek dan lini bisnis besar, melalui merger dan akuisisi. Keberhasilan raksa-raksasa tadi mengandalkan diri pada skala ekonomi dan posisi tawar:
Mereka memasarkan dan memperkuat portofolio produk konsumen yang luas melalui kontrolnya atas saluran ritel. Skala juga memberi mereka biaya yang lebih rendah dalam fungsi back-office, dan sangat mengandalkan pada iklan jaringan televisi yang mahal.
Pemimpin pasar saat ini, sebaliknya, adalah perusahaan lebih fokus.Mereka tidak mengikuti strategi portofolio tradisional dengan mencari keuntungan jangka pendek atau pertumbuhan mereka dapat menemukannya. Sebaliknya, mereka mengandalkan pada kemampuannya menciptakan nilai dari kemampuan khas mereka: yakni apa yang bisa mereka lakukan secara konsisten baik.
Pendekatan strategis mereka, yang didasarkan pada nilai proposisi tunggal yang kuat proposisi yang didukung oleh beberapa kemampuan yang saling memperkuat dan memberikan mereka keuntungan yang berkelanjutan atas saingan mereka.Ketika mereka mengkonsolidasikan upaya mereka di sekitar pendekatan ini, mereka secara fundamental membentuk kembali industri mereka.
IKEA, yang merevolusi industri perabot rumah dengan menciptakan sebuah model bisnis global yang terukur untuk barang-barang rumah dengan harga terjangkau; Starbucks, yang menggunakan pengalaman desain dan kecakapan keterlibatan pelanggan untuk memberikan kedai kopi dengan suasana khas di seluruh dunia; Danaher, yang membangun kembali konglomerasi dengan mereplikasi keunggulan operasional melintasi batas-batas internal, melayani pasar alat ilmiah dan teknis dengan keuntungan besar.
Enterprise Rent-A-Car, yang mengembangkan jenis baru dari bisnis penyewaan mobil untuk orang dengan kebutuhan transportasi yang tidak direncanakan; Inditex, penemu model bisnis cepat mode unik yang efektif untuk pakaian; McDonald, yang rantai pasokan global dan kemampuan pemasarannya memberikan menjadikannya sebagai salah satu merek global yang paling ikonik.
Di Indonesia beberapa merek memperkuat tesis diatas. Wardah salah satu fenomenanya. Seiring dengan maraknya middle-class moslem dan revolusi hijabers, Wardah muncul sebagai pemain yang tiba-tiba menyeruak mencapai puncak sukses. Iklannya muncul di TV hampir setiap hari, brand ambassador-nya gonta-ganti (dari artis Inneke Koesherawati, penyanyi Dewi Sandra, fashion designer Dian Pelangi hingga penyanyi Tulus). Varian produk dan sub brand-nya pun berkembang pesat.
Tak semua fenomena seperti yang ditunjukkan Thomas N. Hubbard, Paul Leinwand dan Cesare Mainardi. Sebab beberapa merek ternyata besar denganmengandalkan daya saing model lamanya, yakni anggaran besar untuk beriklan. Magnum dan Torabika bisa dijadikan ilustrasi. Kekuatannya di anggaran di iklan baik media konvensional maupun media baru membuat dua merek tersebut mampu menggaet banyak konsumen.
Pertanyaannya, bagaimana nasib merek yang jarang beriklan? Apakah lantas terpuruk? Beberapa kasus menunjukan merek-merek yang jarang atau bahkan tak pernah beriklan (above the line) di media. Namun, seperti Body Shop, lebih banyak memanfaatkan publisitas. Jadi disini pemasar merancang event yang mempunyai nilai berita sehingga event tersebut mendapat liputan media.
Seperti kata pakar merek David A Aaker, pengenalan iklan hanya sekadar pembuka jalan bagi pengenalan merek. Sedangkan pengenalan merek adalah pembuka jalan bagi orang untuk mencobanya. Nah, begitu orang mencoba merek tersebut, ada dua kemungkinan. Pertama, bila puas dia akan mengkonsumsi kembali merek tersebut. Kedua, melupakannya bila benefit yang diperolehnya di bawah harapannya.Itu sebabnya, untuk menawarkan suatu produk baru, unsur kualitas tak bisa tidak.
Kualitas sendiri terdiri dari beberapa unsur, yakni; kinerja (sejauh mana suatu produk melaksanakan fungsi utamanya), dan keandalan (konsisten kinerja dari suatu pembelian hingga pembelian berikutnya). Selain itu ada unsur ketahanan yang mencerminkan seberapa besar suatu merek dapat bertahan dalam keadaan baik. Juga layanan dan hasil akhir.
Tahun 2000 silam,Unilever menjajal meluncurkan nasi instant. Untuk memasarkan produk tersebut, Unilever kerja ekstra keras memasarkan produknya ini. Promosinya habis-habisan. Selama Januari-Desember 2000 lalu misalnya, menurut ACNielsen -- untuk mempopulerkan Tara N asiku (merekproduk tadi) -- Unilever merogoh kocek hingga Rp31,792 miliar. Dari nilai tersebut, sebesar Rp31,22 miliar dibelanjakan untuk iklan televisi, sebesar Rp123 juta untuk surat kabar dan Rp458 juta untuk majalah.
Di luar itu, Unilever juga menerjunkan "tim penyuluh" ke sejumlah kawasan di Jakarta untuk menyebarkan cara memasak TN dengan benar. Itu dilakukan Unilever mengingat cara membuatnya yang sedikit berbeda dengan jenis makanan instan yang lain.
Toh, merek tersebut tidak berhasil. Persoalan utamanya adalah ketidakpraktisannya. Bayangkan, produknya masih berupa beras. Ini tentu membutuhkan penanganan khusus, mulai dari menanak, memberi bumbu hingga mendiamkannya sekitar 3 menit untuk mendapatkan hasil nasi yang paling enak dan pas untuk disantap.
Lalu bagaimana agar sukses? Ada tiga resep umum untuk merek dan strategi pemasarannya. Pertama, perusahaan harus mempunyai wawasan terhadap konsumen secara mendalam: tidak hanya mengetahui apa yang dibeli orang, tetapi segmen konsumen yang membeli barang apa dan mengapa.
Kedua, perusahaan harus menciptakan proposisi nilai untuk setiap kelompok target pelanggan. Proposisi nilai-primer, manfaat penting produk yang dirasakan konsumen, harus harus melampaui produknya, hingga mencakup seluruh pengalaman pelanggan dengan merek. Ketiga, perusahaan harus menyelaraskan semua kegiatan perusahaan untuk menyediakan pengalaman produk yang diinginkan oleh pelanggan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)