Faktor lainnya adalah makin tingginya angka perceraian, meningkatnya selera akibat semakin tingginya tingkat pendidikan serta kesadaran akan kebutuhan emosional yang semakin besar. Semakin tinggi angka perceraian terutama di kelas menengah, semakin banyak melahirkan kaum lajang yang gaya hidup dan pola konsumsinya berubah secara dramatis.
Berbeda saat memiliki pasangan, dalam kesendiriannya, mereka cenderung lebih banyak menghabiskan uangnya untuk membuat mereka merasa lebih baik, mengubah image, dan menarik perhatian partner barunya. Misalnya, mereka yang bercerai cenderung lebih banyak melakukan makan malam di luar, membeli produk perawatan tubuh, atau gadget teknologi komputer dan informasi. Untuk perempuan, cenderung lebih banyak menghabiskan uangnya untuk busana, sepatu, parfum, serta produk dan jasa perawatan tubuh lainnya.
Dari sisi suplai, produk ini didrive oleh banyaknya entrepreneur yang memiliki pendidikan lebih tinggi, lebih canggih, dan lebih memiliki pengetahuan tentang konsumen dari pada sebelumnya. Mereka ini tidak begitu suka membuat dan memasarkan produk yang biasa-biasa saja. Produk dan jasa yang mereka ciptakan harus berbeda dan biasanya diinspirasi oleh pengalaman mereka yang merepresentasikan kebutuhan konsumn yang sebenarnya. Pendiri Starbucks, Howard Schultz, misalnya mendirikan Starbucks karena terinspirasi oleh konsep warung kopi di Italia yang menurutnya penuh experiential.
Kemunculan produk dan jasa seperti ini telah mengaburkan batas antara luxury dan non-luxury. Sebab, untuk menjadi new luxury, suatu produk atau jasa kelasnya bisa didorong ke atas atau ke bawah atau produk dan merek baru yang didesain untuk menyasar konsumen seperti yang digambarkan diatas.
Untuk memenuhi keinginan kelas menengah baru akan sesuatu yang selama ini dianggap “mewah” misalnya, merek-merek old luxury di-“extend” dengan menggunakan label baru dan harganya dipatok lebih murah. Contohnya adalah perluasan lini merek Mercedez dengan melaunch seri A yang harganya relatif murah. Lini merek ini ditujukan untuk membidik konsumen yang selama ini ingin memiliki mobil bermerek Mercedez tetapi ”belum mampu” membeli Mercedez seri C, E, atau S.
Di sisi lain, ada produk atau jasa yang sengaja didorong ke atas untuk memenuhi konsumen yang selama ini bersedia membayar lebih untuk produk atau jasa yang memiliki kualitas, taste dan aspirasi lebih tinggi. Cineplex 21 salah satu contohnya. Untuk membidik target market yang lebih tinggi, Maxima – pemilik merek 21 – sejak beberapa tahun lalu meluncurkan XXI yang terkesan lebih “wah” ketimbang 21.
Kenapa menengah ke atas? Perkembangan ekonomi telah melahirkan jauh lebih banyak kelompok menengah. Kelompok kelas baru ini semakin selektif dan memiliki kualitas, taste dan aspirasi yang lebih tinggi.
Konsumen sendiri makin selektif kalau tidak mau dikatakan mendua. Konsumen cenderung membeli produk-produk yang di dorong ke atas untuk kategori yang dianggap penting, dan membeli produk yang didorong ke bawah untuk kategori kurang memberikan makna. Karena itu tak jarang mereka menggunakan Air Asia saat bepergian ke Denpasar sementara handphone disakunya adalah iPhone 6 atau Samsung S Series dan saat ke Bandara diantar dengan kendaraan sekelas Alphard. Bukan karena mereka tidak mampu menggunakan pesawat Garuda, melainkan karena penerbangan yang waktunya pas seperti yang dibutuhkan hanya bisa disediakan oleh Air Asia.
Bagi konsumen produk new luxury – produk hasil premiumisasi – benefit emosional memang penting tapi itu saja tidak cukup. Kualitas produk new luxury harus memenuhi tiga tangga benefit. Pertama, produk new luxury secara teknis harus berbeda dalam desain atau teknologi atau dua-duanya. Itu pun dengan asumsi bahwa secara kualitas, produk tersebut tidak cacat dan dapat berfungsi sebagaimana yang dijanjikan. Produk new luxury ini lahir di hampir semua kategori produk.