Selama empat minggu Piala Dunia 2014 berlangsung, terhitung sekitar 3,2 miliar pemirsa yang menyaksikan perhelatan tersebut. Selain itu, dengan biaya sponsor eksklusif mencapai USD 75 juta, para sponsor seharusnya bisa memperhitungkan apakah upaya sponsorship tersebut memberikan hasil yang memuaskan untuk pemasukan marketing Anda.
Seperti yang kita tahu, merek-merek olahraga besar seperti Nike dan Adidas―sebagai sponsor utama Piala Dunia 2014―sangat agresif memanfaatkan momentum ini dengan program-program Piala Dunia 2014 secara spesifik. Namun, bagaimana dengan merek-merek underdog? Strategi apa yang dapat mereka pelajari dari momentum ini? Tentunya banyak. Seperti yang dilakukan Puma.
Puma, yang pendapatannya lebih kecil dari Adidas dan Nike, membuat strategi dengan bergerak secara perlahan, seperti yang dilansir dari BloombergBusinessweek. Di satu sisi, Puma menunggu hingga turnamen usai untuk meluncurkan kampanye iklannya. Di sisi lain, Puma juga mengambil keuntungan dari celah para pemain yang diperbolehkan juga menggunakan merek yang bertentangan dengan merek yang secara resmi mensponsori seluruh seragam tim.
Merek-merek tersebut tergolong merek underdog, antara lain Under Armour, Brooks, Columbia Sportswear, dan Patagonia. Berikut adalah tiga strategi yang digunakan merek underdog tersebut.
Pertama, Merek Anda tidak bisa jadi segalanya untuk segala konsumen. CEO baru Puma Bjoern Gulden, dulunya sempat menjadi pemain sepak bola untuk tim nasional Jerman. Puma juga sempat menjadi merek besar yang digunakan legenda sepak bola Pele. Artinya, dengan dua fakta tersebut akan memudahkan Puma untuk menentukan fokusnya sebagai alat pelengkap sepak bola.
Dalam banyak hal, yang Puma lakukan ternyata sejalan dengan yang dilakukan merek Brooks, yang membuatnya menjadi leader di industri sepatu lari. Sejak itu, Brooks pun berhenti memproduksi sepatu secara umum, tetapi fokus ke sepatu lari. Dikatakan CEO Brooks Jim Weber, “Kami berhenti memproduksi sepatu dengan harga dibawah USD 80, dan fokus memproduksi sepatu lari. Hasilnya, produk kami menjadi lebih baik dan lebih baik”.
Kedua, Anda tidak perlu sorotan TVC. Dengan mengabaikan iklan World Cup, Puma meminjam strategi yang digunakan Brooks dan Under Armour. Saat Weber merehabilitasi merek Brooks, ia melewatkan sorotan iklan TV, dan lebih memilih untuk membiarkan kinerja produknya yang bicara. “Product experience-lah yang membangun kinerja sebuah merek. Anda tidak akan mendapatkannya dengan iklan,” katanya. “Iklan adalah turbocharger, tetapi produk-lah yang sebenarnya menciptakan kredibilitas dan keotentikan.”
Ketiga, Diferensiasi image benar-benar membantu Anda. Dibandingkan Nike dan Adidas, Puma memiliki ciri khas yang berbeda. Nike fokus dengan sepatu model bersayap, materialnya ultra-light sintetis, dan boot-nya menyatu dengan kaos kaki. Tetapi Puma tetap dengan strategi simpel-nya, sepatu cerah dan warna yang berbeda. Setiap sepatu warnanya berbeda, yang kanan berwarna merah muda, dan yang kiri berwarna biru.
Bagi Puma, sepatu berwarna merah muda-biru tersebut menjadi ilustrasi yang mengingatkan kita bagaimana image bisa menjadi nilai penting dari sebuah diferensiasi untuk merek-merek underdog. Yang terpenting, keberaniannya tampil beda itu juga meng-endorse Puma sebagai pembuat perbedaan. Sebagai contoh, Mario Balotelli, pemain yang menonjol di tim Italia, mengatakan: "Pada akhirnya, itu adalah alasan utama mengapa saya memilih Puma. Mereka berani tampil beda, dan semua orang tahu itu." Satu alasan lagi untuk menyaksikan World Cup hingga tiga minggu ke depan, khususnya saat Italia bertanding. Permainan yang bergerak cepat, tetapi kaki Balotelli pasti mudah ditemukan.