Rethinking Public Relations: Jurnalisme Objektif Ditinggalkan, Datang Jurnalisme Interpretatif

Nation
Saat ini jurnalisme objektif mulai ditinggalkan. Media sekarang banyak yang menganut jurnalisme interpretatif. Apa dampaknya bagi praktik public relations?

Rabu sore, 6 Mei 2009, subkomite Senat AS yang membidangi masalah komunikasi menyelenggarakan dengar pendapat bertema the Future of Journalism. Senator John Kerry memulai disksui dengan mengucapkan selamat datang di dunia baru pada berita online. "Sepertinya, surat kabar terlihat bak spesies yang terancam punah."
Mendengar itu, Senator Ben Cardin of Maryland dengan terang-terangan menyatakan dukungannya pada RUU Revitalisasi Koran. Sementara itu, Marissa Mayer, wakil presiden di Google (saat itu), mencatat peningkatan yang luar biasa lalu lintas pada mesin pencari ke situs-situs berita dan berharap bahwa inovasi akan melestarikan jurnalisme dan memiliki fungsi penting dalam masyarakat. Artinya, kini sudah menjadi trend di masyarakat bahwa untuk mencari informasi tertentu, orang mendatangi google.com
Awalnya, wartawan tidak diberi kesempatan untuk bersaksi dan meliput dengar pendapat itu. Namun, David Simon, mantan wartawan Baltimore Sun, maju ke depan. "Di Amerika, jurnalisme tingkat tinggi sedang sekarat," katanya. Bukan karena internet, tetapi lebih dikarenakan persoalan sikap. “Media meninggalkan ambisinya untuk menjelaskan dunia yang semakin kompleks."
Steve Coll, mantan editor untuk Washington Post, mencoba memberikan pendapat lain. Menurut dia, perubahan teknis dan pasar yang menyebabkan media tiba-tiba kehilangan begitu banyak laporan yang independen. Sementara itu, James Moroney, CEO Dallas Morning News yang mewakili Newspaper Association of America, mengatakan surat kabar mengalami krisis bukan karena kehilangan pembaca tetapi karena media telah kehilangan semangat dan meningkatnya kompetisi akibat kemunculan internet dan media lainnya.
Pendiri dan editor situs berita online Huffington Post, Arianna Huffington, mengkritik jurnalisme sistem lama. Dia mengatakan bahwa media sistem lama telah gagal menjelaskan situasi menjelang perang di Irak dan krisis keuangan. Alih-alih menjelaskan soal itu, media mempublikasikan penerbitan gaya pemberitaan yang mendikte tentang apa yang penting. "Hari-hari itu kini telah lewat,” katanya.
Setelah berikan mempernyataan resmi, Senator asal Texas, Kay Bailey Hutchinson -- anggota kelompok minoritas -- bertanya apakah organisasi online dapat menghasilkan laporan yang menjelaskan suatu peristiwa secara mendalam? Moroney mengatakan bahwa setiap tahun Dallas Morning News edisi online menyisihkan sebagian kecil dari $ 30 juta penghasilannya untuk dihabiskan pada pengumpulan berita.
Missouri Senator Claire McCaskill bertanya apakah anggaran yang disediakan bagi pos tidak-untuk-keuntungan bisa mengisi kesenjangan? Presiden Knight Foundation, Alberto Ibargüen, mengatakan bahwa warga pedesaan, miskin, dan warga usia tua masih kekurangan akses terhadap berita meskipun dalam beberapa kasus keberhasilan proyek online sering diperdengarkan.
Lalu Senator Kerry menutup dengar pendapat dengan menyerukan perlunya kebijakan yang memungkinkan lancarnya aliran berita bebas. Di sisi lain, dia khawatir bahwa, walaupun lebih banyak informasi yang tersedia, orang Amerika akan merasa kesulitan untuk memisahkan fakta dan opini. Semua pihak sepakat pada kebutuhan untuk melestarikan model penulisan in-depht reporting guna menghasilkan berita yang berkualitas.
Dalam beberapa tahun terakhir, para ahli di AS mengeluhkan tentang gaya pemberitaan media yang dinilai memiliki kualitas lebih rendah dibandingkan rekan-rekan mereka di Eropa. Sebuah artikel yang dimuat di the Nation dengan judul “the Collapse of Journalism” berargumen bahwa negara-negara lain telah menghabiskan lebih banyak menginformasikan kepada masyarakat melalui media, sutau investasi yang menghasilkan berita secara dramatis lebih rinci dan tajam.
Komentar lainnya merujuk pada pers Perancis sebagai suatu contoh yang medianya selalu memberikan analisis dan menyampaikan berita mendalam. Mereka menyarankan wartawan Amerika mengikutinya. Studi tentang pers Finlandia menemukan banyak sejak 1990an, kecenderungan wartawan untuk memberi komentar tentang suatu peristiwa yang dimuat di halaman depan meningkat. Tapi beberapa sosiolog melaporkan bahwa berita lokal telah"gagal menghasilkan penjelasan yang cukup jelas dan menjawab pertanyaan tentang mengapa. Mereka memang sudah memberiikan semacam kesimpulan tetapi mungkin mereka telah menariknya untuk audiens yang lebih besar, alias tidak berani bersikap.
Dalam perspektif sebagian pihak, berita didefinisikan sebagai wujud yang terpisah (independen) dari diri wartawan. Berita adalah fatka yang ada ‘di luar sana’ yang menunggu dicari dan ditulis, serta kemudian dipublikasikan oleh media (Erjavec, 2003). Gagasan jurnalisme objektif ini banyak mendapat kritik. Salah satu diantaranya, seperti ditulis Edi Santoso - Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNSOED -- objektifitas seringkali dijadikan sebuah selubung atas kebohongan terhadap publik.
Misalnya wartawan seolah-olah terbebas dari dosa setelah mematuhi kaidah pemberitaan berimbang, meliput dua pihak yang bertikai tanpa mempedulikan kebenaran dari fakta yang disampaikan pihak-pihak tersebut. Wartawan seolah lari dari tanggung jawab atas kebenaran fakta peristiwa, dengan dalih biarkan khalayak sendiri yang memaknainya.
Stephen Ward menilai, gagasan objektif untuk memisahkan antara fakta dan nilai adalah hal yang tidak mungkin, karena semua pengetahuan, bahkan termasuk data-data sains tidak bisa menjadi bebas nilai. Bahkan gagasan ini sesungguhnya merupakan penipuan, karena seorang wartawan tak lain adalah ‘aktor-aktor’ politik yang pasti memiliki bias dalam laporannya. Tidak saja bias karena faktor personal (ideologi, pengalaman) tapi juga karena tekanan eksternal (Ward, 1998).
Sebagai alternatif gagasan jurnalisme objektif ini, kemudian muncul jurnalisme subjektif atau interpretatif. Jurnalisme interpretative secara mudah sering diartikan jurnalisme dalam konteks. Artinya, wartawan tak semata-mata menyajikan fakta, tetapi juga menyuguhkan makna. Maka, seorang wartawan interpretative senantiasa memaknai tiap jalinan peristiwa, melihat keterkaitan antar fakta, kemudian berbagi pandangan dengan khalayak (Oetama, 2003).
Banyak orang yang menyarankan agar media sekarang lebih interpretatif. Di satu sisi, ini akan menghapus kekhawatiran tentang pengaruh komersial dan public relations, dan tentang bias wartawan, namun di pihak lain ada usulan agar berita ditulis secara lebih lengkap dan memberikan lebih banyak konteks.
Mereka mengatakan, pers harus melakukan pekerjaan yang lebih baik untuk menjelaskan tentang asal informasi dan membuang kekhawatiran bahwa internet dapat merusak usaha mereka. "Sama seperti televisi yang memiliki semuanya, tetapi seringkali membuang laporan yang bersifat pengamatan langsung, ancaman media internet adalah karena karakter media internet yang lebih interpretif dan mengalahkan pelaporan biasa," kata seorang wartawan sebuah media online.
Pada dasarnya, wartawan juga ingin menyediakan lebih banyak berita interpretasi yang lebih baik. Dalam beberapa dekade terakhir mereka telah mencela kecenderungan tumbuhnya laporan berita ilmu pengetahuan untuk memanipulasi fakta, dan menyerukan lebih banyak konteks sehingga membuat sesuatu menjadi koheren dan bermakna. Dalam pandangan mereka, seorang watawan haruslah meningkatkan fungsi analisis dan penjelasan dalam pemberitaannya.
Pemenang hadiah Pulitzer Jack Fuller berpendapat, sebagai penerbit Chicago Tribune, audiensenya menemukan bahwa berita yang netral sempurna tidaklah menarik. Dia mengharapkan wartawan untuk melakukan lebih banyak pekerjaan analitik dan selalu memberikan jawaban atas pertanyaan masyarakat yang ingin mendapatkan penjelasan secara memadai.
Lalu bagaimana dampaknya bagi kerja praktisi publik relations? Benar bahwa praktik public relations sekarang tidak lagi sepenuhnya mengandalkan media. Namun demikian harus diakui bahwa media konvensional sangat membantu dalam mengamplifikasi pesan-pesan yang disampaikan public relations. Ini karena sampai saat ini, dalam batasan tertentu, media massa konvensional masih efektif dalam menyampaikan pesan ke publik.
Yang jadi persoalan, ketika gaya penulisan masih menganut prinsip objektivitas, praktisi public relations banyak mengeluhkan misalnya kesalahan dalam penulisan dan sebagainya, sekarang media bergeser ke era interpretative. Ini berarti penulis berarti akan lebih banyak menginterpretasikan informasi yang disampaikan oleh perusahaan. Jadi bagaimana perusahaan atau praktisi public relations mensiasatinya?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)