Tak hanya merek berusia senja yang berpotensi memasuki fase Decline, hingga berujung pada kematian. Belum sempat memasuki fase Mature, merek yang tengah berada di fase Growth pun bisa langsung melompat ke fase Decline. Penyebabnya, ketidakmampuan merek dalam menjawab perubahan pasar sekaligus ketatnya persaingan. Bagaimana agar merek tetap eksis?
Maya Carolina Watono, Managing Director Dwi Sapta Group
Diasuh oleh: Maya Carolina Watono, Managing Director Dwi Sapta Group dan Penulis Buku “IMC That Sells (2011)”.
Apa yang harus dilakukan jika merek yang kita kelola sudah mulai menua? Apa langkah marketing komunikasi yang tepat, agar merek lawas bisa tetap eksis di tengah gempuran pesaing, terutama para pendatang baru? (Rani-Tangerang).
Layaknya mahluk hidup, produk pun memiliki siklus hidup. Jika mahluk hidup mengawali siklus hidup dari lahir, kemudian tumbuh, berkembang, layu, dan akhirnya mati; maka produk memiliki siklus hidup yang disebut sebagai Product Life Cycle, yang dimulai dari Introduction, beranjak ke Growth, memasuki masa Mature, hingga berujung pada Decline. Sejatinya, kecepatan siklus hidup sebuah produk juga bergantung pada kategori produk itu sendiri. Produk-produk yang berbasis teknologi dan fashion umpamanya, memiliki siklus hidup yang lebih pendek dibandingkan kategori produk lainnya.
Memasuki fase pertama, Introduction, biasanya kita akan memasuki rangkaian aktivasi launching, atau peluncuran produk. Di fase ini, pengelola merek mulai memperkenalkan merek, sekaligus membangun awareness lewat aneka contact point massal agar mendapatkan Reach yang luas namun sesuai dengan target market yang dibidik. Penetrasi pasar pun harus dilancarkan lewat beragam channel distribusi dan trade activity.
Di fase kedua, Growth, kita sudah mulai dapat melihat apakah produk sudah mendapat respon positif dari pasar. Pada masa ini, pengelola merek masih agresif melakukan upaya marketing komunikasi untuk merebut pangsa pasar. Obyektifnya, selain untuk memperkuat merek di pasar, diharapkan kinerja penjualan merek terus melonjak sehingga dapat mengejar growth yang signifikan di masa-masa awal.
Menginjak fase ketiga, Mature alias matang, kita sudah harus mulai berhati-hati. Mengapa? Karena pada masa ini awal penurunan dapat terjadi. Ada banyak gejala atau indikasi yang bisa kita jadikan warning pada fase ini. Antara lain, gejala market yang mulai stagnan, sales dan market share yang cenderung rata atau menurun, kompetisi yang semakin ketat, hingga konsumen yang sudah tidak bisa melihat lagi perbedaan benefit yang ditawarkan antara satu merek dengan merek lainnya. Biasanya, merek-merek yang mengalami fase ini adalah merek yang beranjak senja atau bahkan menua.
Fase terakhir, Decline. Yakni, fase yang memperlihatkan penurunan tajam atas kinerja sebuah merek. Merek yang memasuki fase ini umumnya adalah merek yang tidak mampu menjawab perubahan pasar. Lantaran, mereka cukup nyaman berada di zona Mature. Perlu diingat, merek yang masih berada pada fase Growth juga bisa langsung melompat ke fase Decline, sepanjang tidak mampu menjawab perubahan pasar maupun ketatnya persaingan.
Oleh karena itu, agar merek yang sudah memasuki fase Mature tidak beranjak pada fase Decline, maka langkah peremajaan (rejuvinasi) lewat berbagai inovasi wajib dilakukan. Merek di fase Mature harus kita bangunkan agar dapat bergairah lagi di pasar dan dapat mengulangi fase life cycle Growth. Mulai dari inovasi produk hingga inovasi pada strategi marketing komunikasinya. Ambil contoh, merek Sasa yang merupakan pionir di kategori Food Seasoning (penyedap rasa MSG - Mono Sodium Glutamat) sejak tahun 1968. Merek Sasa tergolong sudah Mature, meskipun hingga kini Sasa masih menempati posisi market leader di Tanah Air untuk kategori bumbu masak.
Pionir dan market leader saja tidaklah cukup. Pasar mulai berubah. Perilaku konsumen Indonesia sudah mengarah pada kepraktisan dan gaya hidup sehat. Demi menjawab perubahan konsumen sekaligus merejuvenasi image Sasa di pasar, upaya peremajaan dilakukan. Langkah pertama adalah melakukan inovasi produk, dengan mengektensifikasinya menjadi produk bumbu masak instan. Antara lain, dengan meluncurkan produk Sasa Tepung, Sasa Marinade, Sasa Kaldu, hingga Sasa Sambal.
Berikutnya, inovasi pada strategi marketing komunikasi. Kali ini, Sasa menggandeng sejumlah brand ambassador dari public figure di bidang kuliner yang notabene memiliki kesamaan karakter dengan produk-produk Sasa. Sebut saja, Chef Farah Queen dan Chef Marinka untuk produk Sasa Tepung, dan Bondan Winarno sebagai pakar kuliner. Semua iklan yang dibuat pun di rejuvenasi sehingga tone & manner-nya dapat terlihat young dan fresh. Sasa juga mencoba berinovasi di area media placement. Yakni, tak semata memasang iklan lose spot, tetapi juga sponsorship di program-program yang tepat. Berkat menjadi sponsor utama di acara “Master Chef” selama tiga season berturut-turut, image merek Sasa meningkat dan Sasa mulai dikenal sebagai produk yang dapat memenuhi semua kebutuhan wanita di dapur dan mampu membuat masakan lebih enak, lezat, dan praktis.