Dan ia ditunjuk oleh Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA) pada November 2017 untuk mengubah budaya tim nasional yang selama itu dibayangi oleh ketakutan dan tekanan berlebihan.
Mereka tidak hanya mencari motivator; mereka butuh penyembuh luka sejarah. Tim Inggris saat itu lekat dengan stigma—gagal adu penalti, tekanan media, dan beban masa lalu yang membuat mereka tampil kaku.
Grange percaya bahwa performa terbaik muncul ketika pemain merasa terhubung, berani, dan bebas secara psikologis. Ia tidak datang untuk menyuruh para pemain “berani menang”, melainkan untuk mengajarkan mereka cara berdamai dengan ketakutan akan kalah.
Bagi Grange, kegagalan bukan musuh, tapi guru. Ia percaya bahwa kesuksesan justru dibangun dari kegagalan yang tak dihindari, tapi dihadapi dengan keberanian dan refleksi. “Saya ingin membalikkan obsesi tidak sehat pada kesuksesan,” tulisnya. “Tanpa kegagalan, kita tidak bisa berkembang lebih jauh, lebih tinggi, atau lebih cepat.”
Grange mengajarkan bahwa keberhasilan tim bukan semata hasil dari taktik dan latihan fisik, melainkan juga hasil dari rasa aman emosional, dari kemampuan untuk berbicara, untuk menangis, untuk menyatakan bahwa mereka takut kalah—tanpa merasa lemah karenanya.
Dalam dunia sepak bola laki-laki yang sering keras dan maskulin, Pippa adalah kehadiran yang menenangkan.
Ia dijuluki _“Mary Poppins of football.” Bukan karena membawa payung ajaib, tapi karena menghadirkan sihir empati dan keberanian dalam dunia yang keras dan penuh tekanan. Melalui pendekatannya yang lembut namun efektif, Grange menekankan pentingnya membangun ketahanan psikologis dan budaya tim yang sehat.
Ia percaya bahwa keberhasilan jangka panjang lebih dari sekadar kemenangan di lapangan; ini tentang menciptakan lingkungan di mana pemain dapat berkembang secara holistik.
Dia mendorong para pemain untuk berbagi pengalaman hidup dan kecemasan mereka dalam kelompok kecil, membangun kepercayaan dan pemahaman yang lebih dalam antaranggota tim.
Ia membentuk ruang-ruang diskusi kecil tempat para pemain duduk dan saling berbagi: cerita masa kecil, ketakutan pribadi, bahkan luka yang belum sembuh.
Di ruang latihan, ia memasang kutipan Michael Jordan dan Nelson Mandela di dinding. Di kolam hotel, ia membiarkan para pemain bermain dengan unicorn tiup. Di ruang mental mereka, ia menanamkan satu ide sederhana: tekanan tidak harus membuatmu lumpuh—tekanan bisa menjadi panggung untuk keberanian.
Ketika Inggris mengalahkan Kolombia melalui adu penalti di...