Ketika Inggris mengalahkan Kolombia melalui adu penalti di babak 16 besar, ini adalah kemenangan pertama mereka dalam adu penalti di Piala Dunia. Itu bukan hanya hasil dari latihan fisik, tetapi juga buah dari transformasi mental yang dipimpin Grange.
“Kita harus belajar menulis cerita kita sendiri,” kata Gareth Southgate, sang pelatih kepala.
Bagi banyak orang, itu adalah pencapaian teknis. Tapi bagi Grange, itu adalah kemenangan budaya—ketika tim mulai percaya bahwa mereka tidak harus dikendalikan oleh rasa takut, oleh sejarah, atau oleh kegagalan.
Kisah Pippa Grange adalah pengingat bagi kita semua: bahwa kekuatan bukan hanya soal otot atau kecepatan, tetapi juga soal membuka ruang batin untuk jujur, rapuh, dan terus mencoba meski gagal. Dalam dunia yang kadang terlalu keras pada kesalahan, dia datang membawa pesan lembut: gagal itu bagian dari keberanian.*Edhy Aruman*
RUJUKAN
Saner, E. (2018, July 10). How the psychology of the England football team could change your life. The Guardian. https://www.theguardian.com/football/2018/jul/10/psychology-england-football-team-change-your-life-pippa-grange
Training Ground Guru. (2019, November 8). Pippa Grange: Working on the soul of the team. https://trainingground.guru/articles/pippa-grange-working-on-the-soul-of-the-team
Women in Football. (2018, July 4). Spot on! Dr Pippa Grange plays a key role in England’s World Cup success. https://www.womeninfootball.co.uk/news/2018/07/04/spot-on%21-dr-pippa-grange-plays-a-key-role-in-englands-world-cup-success/
Ketika The Football Association (FA) merekrutnya sebagai psikolog olahraga, misinya bukan sekadar memperbaiki performa—tapi mengubah budaya. Di balik strategi permainan dan tendangan penalti, Grange menyelami sesuatu yang lebih dalam: rasa takut, tekanan publik, rasa malu jika kalah, dan kerentanan laki-laki dalam ruang yang mengagungkan kekuatan fisik.
Sebelum kehadirannya, tim nasional Inggris dibayangi sejarah kegagalan—terutama dalam adu penalti yang berulang kali berakhir menyakitkan. Tetapi di Piala Dunia 2018, Inggris tidak hanya berhasil mencapai perempat final. Mereka juga memenangkan adu penalti yang menegangkan melawan Kolombia—sebuah momen yang terasa seperti mematahkan kutukan berpuluh tahun. Di balik keberhasilan itu, ada suara lembut namun kuat yang membisikkan kepada para pemain bahwa keberanian tidak selalu berarti membungkam rasa takut, melainkan menghadapinya dengan jujur.
. Ia bahkan dijuluki “Mary Poppins of football”, bukan karena membawa payung atau lagu-lagu ceria, tapi karena kehadirannya seperti mantra lembut yang membuat kekacauan emosional menjadi ruang refleksi dan pertumbuhan.
Ia membantu para pemain memahami bahwa ketangguhan mental...