Waspada Bubble Industri E-Commerce

Menurut catatan MIX, media saat ini memang sedang hype mengangkat e-commerce Indonesia. Simaklah iklan-iklan di televisi (TV Commercial). Tokopedia, Travelola, BukaLapak, Salestock, Blibli, MatahariMall, dan Elevania, belakangan makin sering muncul. Net.TV bahkan membuat Sitcom OK Jek untuk menarik para pengiklan dari industri e-commerce. Tak heran kalau Nielsen mencatat belanja iklan e-commerce Indonesia saat ini berada di tiga besar ad spender.

Pada tahun lalu, di antara top 10 industri dengan belanja iklan (advertising expenditure/Adex) terbesar, e-commerce (on line service) mencatatkan pertumbuhan tertinggi (44%). Traveloka, misalnya, adex-nya mencapai Rp697,3 miliar. Sedangkan Tokopedia mencapai Rp 625,3 miliar. Kenaikan belanja iklan keduanya berturut-turut 187% and 1611%!

Dari sisi supplier atau merchant, dari waktu ke waktu juga terus bertumbuh, terlihat dari makin banyaknya jenis produk yang ditawarkan di marketplace. Tidak ada data spesifik memang yang menunjukkan jumlahnya. Namun menurut Bayu Syerli Rachmat, Head of Marketing BukaLapak, marketplace ini jumlah merchants-nya tumbuh secara eksponensial. “Pada 2013 jumlah merchants kami ada 80 ribu, pada 2014 tumbuh menjadi 163 ribu, kemudian naik lagi menjadi 500 ribu pada 2015, dan kini menutup semester 1 2016 telah menjadi 1 juta merchants,” tuturnya kepada MIX.

Sementara dari sisi konsumen, makin banyak juga digital users yang mulai menjajal transaksi online, terutama setelah kampanye belanja online pada akhir tahun lalu lewat program Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) 2016 dengan diskon besar-besaran. Teddy Arifianto mengonfirmasi hal ini. Sejak awal JD.ID masuk ke Indonesia pada akhir 2014, pertumbuhan transaksi per bulan rata-rata mencapai 30%-50%, katanya.

Tedy juga mengatakan bahwa pelanggan JD.ID saat ini sudah lebih dari sekadar Early Adopter. “Mereka adalah Internet-Savvy dan sudah sering menggunakan platform belanja online di lebih dari satu e-commerce. Mereka bisa dengan mudah melakukan perbandingan layanan, harga dan pilihan barang antar satu perusahaan e-commerce dan yang lainnya.” Hal ini, lanjutnya, terlihat dari pola belanja mereka yang tidak melulu via halaman Web. “Traffic via aplikasi ponsel—di mana mereka bisa lebih leluasa karena pilihan ada di genggaman mereka—juga cukup baik.” Via ponsel, katanya, mereka dapat mengakses secara lebih langsung—apalagi penawaran via aplikasi ponsel seringkali lebih banyak dibandingkan via halaman Web. “Ini menunjukkan tingkat adopsi yang luar biasa tinggi pengguna internet dan aplikasi mobile di Indonesia,” ujarnya.

Bayu tidak sependapat dengan Teddy. Menurut dia, meskipun jumlah pelanggan e-commerce Indonesia pertumbuhannya serupa dengan pertumbuhan merchants, “kue” besarnya belum terjamah dengan baik. Artinya, segmen pengguna Early & Late Majority belum masuk ke segmen yang dominan menggunakan e-commerce. “Industri e-commerce masih perlu melakukan banyak inisiatif agar penetrasi e-commerce bisa masuk ke segmen Early & Late Majority seperti halnya penetrasi aplikasi media sosial di Indonesia,” tegasnya.

Bayu lalu memaparkan jumlah pelanggan (users) BukaLapak yang pada akhir Juni tahun ini menembus angka 5.6 juta, meningkat sangat signifikan dibandingkan jumlahnya pada awal tahun lalu yang berada si kisaran 900 ribu pengguna.

Merujuk kepada kurva Gartner's Hype Cycle, apakah kondisi e-commerce Indonesia sudah mendekati tahap puncak hype? Waktu yang akan menunjukkannya. Untuk pengetahuan saja, setelah mencapai puncak kurva, industri ini akan mengalami penurunan hype dimana negative press akan mulai muncul, suppliers yang tidak terlalu bonafid akan mulai gagal memenuhi janjinya dan akan melakukan konsolidasi, venture capital funding akan mulai memasuki putaran kedua atau ketiga, dan hype akan terus menurun sampai mencapai tahap paling dasar (titik nadir) di mana tinggal kurang dari 5% potential audience yang mengadopsi e-commerce secara penuh.

Namun jangan khawatir, menurut Mahesh, ketika tahap ini terlampaui, pertumbuhan industri yang berasal dari genuine customers akan terjadi—meski grafik hype-nya tidak akan “seheboh” ketika tahap penetrasi seperti saat ini. Industri e-commerce yang lebih sehat akan terjadi pada tahap “Entering the Plateau” di mana konsumen yang mengadopsi innovasi ini akan relatif stabil di jumlah sekitar 20%-30% dari potential audience.

 

Building Stronger Brands
Agar e-commerce Indonesia survive menghadapi kondisi seperti itu sampai industri berada pada tahap “Entering the Plateau”, Mahesh Agarwal mengingatkan pentingnya para pelaku e-commerce untuk membangun brand dengan engagement yang lebih baik dengan konsumen.

Pages: 1 2 3

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)