Waspada Bubble Industri E-Commerce

Mahesh sepakat bahwa memberikan diskon yang lebih besar pada masa saat ini memang diperlukan—untuk mendorong agar calon konsumen melakukan konversi cara belanja mereka dari tradisional ke online—meskipun perusahaan harus mengalokasikan dana yang cukup besar. Namun demikian, katanya, dalam jangka panjang, tetap diperlukan upaya untuk memahami kebutuhan konsumen dan engage dengan mereka secara lebih baik. Dan tak kalah pentingnya, katanya, “Bagaimana Anda mendiferensiasi bisnis Anda di dunia e-commerce yang mulai clutter ini.”

Teddy Arifianto sependapat. Menurut dia, sebagai entitas bisnis, perusahaan e-commerce tidak mungkin terus-menerus merugi untuk menyubsidi biaya promosi. “Ini tidak sehat. Setiap perusahaan e-commerce pasti punya hitung-hitungan masing-masing untuk ini. Tinggal tergantung timeline-nya mau berapa lama: apakah mengejar untung sesaat atau memang membangun bisnis yang berkelanjutan,” tuturnya.

Untuk membangun bisnis yang berkelanjutan, seperti laiknya perusahaan yang bergerak di dunia nyata, e-commerce harus membangun strategi marketing yang tepat. Penetrasi pasar dengan tactical marketing melalui promo diskon besar-besaran tidak cukup untuk membuat entitas e-commerce survive.

Nah, sebelum membangun strategi pemasaran, Mahesh merekomendasikan para pelaku bisnis ini untuk memahami segmentasi konsumen e-commerce Indonesia. TNS mengelompokkan konsumen e-commerce berdasarkan dorongan mereka untuk membeli (rational/emosional) dan aksi mereka di depan layar (more buyers/more browsers). Menurut TNS, ada enam segmen utama konsumen yang berada pada empat kuadran kombinasi dari karakter more rational-more buyers, more emotional-more buyers, more rational-more browser, dan more emotional-more browser (lihat grafik).

Berdasarkan riset TNS, saat ini e-commerce Indonesia masih didominasi oleh segmen pembeli yang melakukan pencarian (browsing) dan pembelian online (buying) berdasarkan dorongan emosional, yang terdiri dari tiga segmen, yaitu E-comm Enthusiast (32%), Therapy Seekers (22%), dan Novelty Seekers (15%). Sementara yang melakukan pencarian dan pembelian berdasarkan rasional jumlahnya jauh lebih kecil, yaitu Bargain Hunters (7%), Assorted Seekers (15%), dan Prudent Buyers (7%).

TNS lalu merekomendasikan treatment yang harus diberikan kepada masing-masing segmen. Untuk segmen Bargain Hunter, katanya, harga menjadi penting sebagai pendorong transaksi. “Namun demikian, diferensiasi harga tidak akan membantu konsumen membedakan brand dari yang lain.”

Sementara itu Ecommerce Enthusiast, di mana merupakan segmen paling besar, komitmennya kepada brand relatif lebih rendah. Bagi mereka, kebaruan teknologi (the newness of the technology) akan menjadi pendorong, dan mereka akan bereksperimen dengan pilihan-pilihan yang lebih banyak.

Untuk Assortment Seekers, TNS menyarankan eCommerce memberikan banyak pilihan. “Assortment Seekers menikmati belanja secara online karena mereka mendapatkan akses kepada banyak pilihan produk dengan cara yang menyenangkan. Karena e-commerce mudah digunakan, tinggal browse dan mereka tidak perlu beranjak untuk berjalan ke toko.” Mereka mendapatkan kesenangan seperti seorang anak yang berada di toko mainan dan ingin membeli semua produk, jika memungkinkan, tambah Mahesh.

Jadi, lanjut Mahesh, untuk membesarkan brand e-commerce di tengah clutter, pelaku e-commerce harus fokus menyediakan kebutuhan (focused in needbased) segmen konsumen yang dituju—sehingga diperlukan upaya untuk memahami kebutuhan utama mereka, engage dengan mereka secara lebih baik, membangun komunikasi yang sesuai dengan mereka, serta membuat experience untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Akhirnya Bayu Syerli tetap optimistis bahwa industri e-commerce Indonesia saat ini sedang menuju ke arah yang benar dan menjanjikan. “Dengan potensi yang masih sangat besar dan behaviour konsumen yang semakin terlihat adaptif terhadap aktivitas jual-beli online, dipastikan 2-3 tahun ke depan bahkan 5 tahun ke depan masih sangat menjanjikan.”

Bayu lalu menunjukkan benchmark industri e-commerce ke negara Asia lainnya seperti China & India. “Di dua negara ini penetrasi e-commerce sudah makin stabil, dan banyak para pemerhati di bidang ini mengatakan bahwa Indonesia is the next China untuk industri e-commerce, maka tidak aneh lagi banyak investasi dari luar yang sangat percaya dengan potensi pasar e-commerce Indonesia,” tutupnya.

Pages: 1 2 3

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)