Membangun Produk Leisure Untuk Traveller

//Tren wisata tak terbendung, kehadiran traveller (wisatawan)semakin naik daun. Kini, traveler menjadi primadona yang diperebutkan banyak merek. Bagaimana membangun merek di zaman ekonomi leisure sekarang ini? //

Wajah pariwisata Indonesia sedang terang benderang. Setelah bertahun-tahun kebutuhan masyarakat didominasi oleh hal-hal mendasar (sandang, pangan, papan), sekaranguntuk pertama kalinya, kebutuhan leisure meningkat tajam. Dalam temuan surveiBadan Pusat Statistik (BPS), hingga akhir tahun 2017, konsumsi yang berkaitan dengan rekreasi dan budaya melonjak ke level 6,5 persen. Angka ini jauh lebih cepat ketimbang pertumbuhan konsumsi masyarakat di dalam komponen pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB) yang hanya 4,95 persen di periode yang sama.

Masih data dari BPS, pertumbuhan konsumsi restoran dan hotel sepanjang tahun 2017 tercatat di angka 5,53 persen atau tumbuh dibanding tahun sebelumnya 5,40 persen. Sementara itu, pertumbuhan konsumsi pakaian dan alas kaki turun dari 3,29 persen ke angka 3,1 persen, dan pertumbuhan konsumsi perlengkapan rumah tangga turun dari 4,6 persen pada tahun lalu ke angka 4,26 persen.

Melihat pergerakan angka-angka itu, siapapun menyadari kunci utamanya adalah wisatawan. Ya, wisatawan yang memegang kendali sehingga bisnis pariwisata bergerak. Wisatawan adalah pelaku utama, baik dari dalam maupun luar negeri.

Terkait dengan hal itu, Menteri Pariwisata Arif Yahya menyatakan optimistis dengan pertumbuhan kunjungan wisatawan dari dalam maupun luar negeri. Dari dalam negeri yang disebut wisnus (wisatawan nusantara), menurut data Kemenpar, secara kumulatif sejak Januari-Oktober 2017 menunjukkan jumlah 252.569.465 orang. Angka itu lebih tinggi 14% dibandingkan target yang ditetapkan sebesar 221,5 juta orang. Sedangkan jumlah wisatawan mancanegara, dikutip dari World Tourism Organization (UNWTO), pada periode Januari-Agustus 2017 sebesar 25,68 persen. Jumlah ini pun jauh melampaui rata-rata regional ASEAN yang tumbuh 7 persen dan rata-rata dunia sebesar 6 persen.

Jika membaca tren kunjungan wisatawan dalam maupun mancanegara, Yuswohady, pengamat dan penulis buku Leisure Economy yakin pada tahun 2018 pariwisata akan menjadi penyumbang devisa terbesar untuk Indonesia. Selain itu, Yuswohady juga meyakini, wisatawan yang jumlahnya terus berkembang besar ini akan menjadi primadona yang diburu banyak pemasar dan pemilik merek. Wisatawan akan menjadi target pasar menggiurkan. “Di era ekonomi leisure yang tren perkembangannya tak terbendung seperti sekarang, sebuah kesempatan sangat baik bagi pemasar dan pemilik merek untuk memanfaatkannya,” katanya.

Memanfaatkan berarti bersiap diri membangun merek dan melakukan program branding. Memanfaatkan berarti jugamengembangkan strategi pemasaran dengan menyuntikkan unsur leisure pada positioning brand-nya. Apapun caranya, Yuswohady mengingatkan kepada pemasar dan pemilik merek tiga hal. Pertama, menyadari pada hakekatnya hampir semua produk atau brand bisa terkait dengan leisure. Jadi, ada brand atau produk yang terkait langsung dengan leisure, seperti hotel, airlines. Namun, ada juga brand atau produk yang tidak terkait langsung dengan leisure, seperti salon, snack, kuliner, dsbnya. “Pemasar harus pintar-pintar untuk memahami positioning seperti ini dan harus bisa mengkonversi produknya ke arah leisure melalui serangkaian strategi marketing,” tegasnya.

Kedua, pemasar dan pemilik merek harus bisa mengembangkan kreativitas untuk branding produk/jasanya. Seringkali pemilik merek tidak mampu mengkonversikan produk/jasanya dengan unsur leisure-nya. “Strategi ini masih jarang dilakukan sejumlah produk/brand di Tanah Air,” ungkap Siwo menunjuk beberapa merek yang sudah melakukannya. Produk perbankan asuransi atau credit card, misalnya, mulai menyasar ke kalangan traveler dengan memberikan iming-iming fasilitas lounge di bandara bagi nasabahnya. Atau juga produk memberikan fasilitas diskon saat hang out di sejumlah resto atau temnpat kuliner bagi nasabahnya.

Tiga, pemasar dan pemilik merek bisa melakukan kerjasama merek agar mendapatkan hasil maksimal. Dalam dunia leisure, co-branding bisa menjadi sinergi yang saling menguatkan. Misalnya, sebuah merek memberikan hadiah berupa liburan ke tempat wisata di Tanah Air atau bahkan ke mancanegara pada program promonya dengan menjalin kerjasama dengan airline dan hotel yang digunakan. “Strategi tersebut merupakan cara marketer brand memaksimalkan potensi tren leisure yang terjadi saat ini,” papar Yuswohady.

Sejauh ini upaya membangun merek para pemasar dan pemilik merek yang memanfaatkan tren leisure memang masih sangat terbatas. Pada umumnya produk/jasa yang ditujukan untuk anak muda (kalangan milenial) yang berani terang-terangan memanfaatkan leisure economy sebagai momentum komunikasi.

Contohnya platform booking online Agoda. Tahun 2017 lalu Agoda melakukan survei internal terhadap traveller muda. Hasilnya ditemukan bahwa anak muda suka melakukan tawar-menawar dengan pemilik toko setempat (45%), mereka tidak membutuhkan Google Maps dan secara spontan lebih memilih untuk mengeksplorasi jalan-jalan tanpa rencana (40%), berani dengan sengaja memilih jalan yang salah (52%), tidak begitu peduli bila mengenakan pakaian yang sama dengan temannya (40%) dan mengaku memakan dessert sebagai makanan pertama ketika memulai harinya (73%), posting foto Instagram paling Insta-worthy adalah dengan mengarahkan orang lain untuk memotret diri mereka secara artistik tanpa melihat ke arah kamera (86%), dsbnya.

Pages: 1 2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)