Realitas pergeseran perilaku konsumen dalam berbelanja itu sebuah keniscayaan. Bagi merek dan pemilik merek, jalan terbaik menghadapi perubahan lansekap industri retail adalah dengan memahami consumer journey: terobosan out of the box yang diyakini lebih genuine dan customized.//
Mei 2018 lalu, PT Neurosensum Technology International (Neurosensum), perusahaan riset/survei pasar berbasis teknologi Neuroscience dan Artificial Intelligence (AI), merilis hasil temuannya tentang perubahan besar pola perilaku konsumen perkotaan dalam membelanjakan uangnya. Penelitian dilakukan terhadap 1.000 orang peserta dengan metode wawancara tatap muka, berlangsung mulai bulan Maret - April 2018 di 12 kota di Indonesia yaitu Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Makasar, Palembang dan Balikpapan.
“Hasil riset menunjukkan adanya perubahan perilaku yang sangat signifikan dari cara konsumen menghabiskan uangnya dan ini akan menjadi tantangan yang besar bagi industri di Indonesia, khususnya fast moving consumer goods (FMCG) dan personal care," jelas Rajiv Lamba, Managing Director Neurosensum. Menurutnya, dari riset ada beberapa poin penting yang menunjukkan adanya perubahan signifikan dalam perilaku konsumsi dari konsumen Indonesia.
Pertama, bangkitnya ekonomi berbasis pengalaman. Konsumen tidak lagi merasa puas dengan sekadar produk saja tetapi telah menjadi pembeli cerdas yang mencari pengalaman melebihi produk dan jasa yang mereka gunakan. Hal itu membuat konsumen mengalihkan pengeluaran dari kategori FMCG tradisional seperti makanan dan minuman ke berbagai kategori dan produk yang menyediakan aneka pengalaman seperti rekreasi dan liburan, gadget atau produk elektronik dan data seluler. "Ini terlihat dari penurunan persentase pengeluaran di kategori makanan dan minuman sebesar 2 poin dari 33% menjadi 31% dalam 2 tahun terakhir ini,” ungkap Rajiv dalam presentasinya.
Kedua, meningkatnya kebutuhan untuk rekreasi. Angka pengeluaran konsumen di kategori rekreasi telah mengalami peningkatan sebesar 40% dalam 2 tahun terakhir. Peningkatan ini khususnya didorong oleh kelompok generasi Z. Dari 40% kenaikan di kategori rekreasi, untuk kebutuhan travelling baik dalam dan luar negeri menunjukkan peningkatan 30% dalam 2 tahun terakhir. Ketiga, kenaikan konsumsi produk elektronik dan data seluler. Kebangkitan ekonomi berbasis pengalaman juga telah mendorong pengeluaran untuk produk elektronik/gadget dan data. Konsumen berbagi pengalaman dan momen penting dalam hidup mereka di Instagram, Facebook dan media sosial lainnya. Pengeluaran telefon seluler naik sebesar 21% dalam 2 tahun terakhir, sedangkan untuk pengeluaran produk di kategori gadget dan elektronik telah meningkat sebesar 50% dalam 2 tahun terakhir.
Keempat, FMCG mengalami ancaman ganda. Di satu sisi, konsumen menurunkan jumlah konsumsi kategori FMCG atau berpindah ke merek FMCG lain yang lebih terjangkau (downgrading) karena adanya pergeseran dari perilaku konsumen ke ekonomi berbasis pengalaman serta adanya peningkatan dalam perencanaan pembelian produk elektronik dan perjalanan liburan/wisata. Di sisi lainnya, perusahaan FMCG juga menghadapi tantangan dengan kemunculan berbagai merek lokal yang mengambil pangsa pasar dari merek-merek lama yang sudah mapan di pasaran. Riset ini menunjukkan bahwa konsumen bersedia untuk membeli merek baru ketika ada penawaran unik atau pengalaman berbeda yang saat ini tidak atau belum bisa diberikan oleh merek-merek terkemuka.
Kelima, bangkitnya kesadaran konsumen akan kesehatan dan kebugaran. Mereka meningkatkan pengeluarannya untuk melakukan spa, pijat dan refleksiologi sebesar 40% dalam 2 tahun terakhir ini. Hal ini didorong oleh kelompok/generasi milenial dan kelompok konsumen kelas atas, diantara kedua kelompok ini, kebutuhan untuk spa, pijat, dan refleksiologi sendiri meningkat hampir 2 kali lipat dalam dua tahun terakhir.
Dari hasil riset secara menyeluruh, Rajiv menyimpulkan, konsumen sekarang semakin cerdas dalam menentukan pilihan. Mereka sadar akan kesehatan, dan mereka menginginkan pengalaman yang lebih dari merek dan produk yang mereka gunakan. "Sehingga, penting bagi perusahaan untuk beralih dari komunikasi satu arah menjadi komunikasi dua arah yang lebih menarik bagi konsumen." tegasnya.
Sebenarnya pergeseran perilaku konsumen dalam berbelanja yang disuguhkanNeurosensum bukan hal mengejutkan. Yuswohady, konsultan dari Inventure, sudah berulangkali mensinyalir realitas itu. Menurutnya, euforia digital adalah pemicunya. Ketika teknologi digital dimanfaatkan dalam ritel, maka perilaku pun kemudian menyesuaikan dan mengikuti arus teknologi berderap.
Seperti gambaran yang disampaikan dalam “The 2018 Nielsen Connected Commerce Report”, Nielsen menyebutkan bahwa pada 2018, 26% konsumen digital membeli bahan makanan segar secara online. Angka ini meningkat 15% atau sebesar US$70 miliar dibandingkan 2016, atau meningkat 2% dibandingkan 2017.
Pete Gale, Retailer Services Nielsen, mengatakan bahwa ketika konsumen sudah merasa nyaman dengan cara online untuk pembelian kategori produk tertentu, maka dengan mudah mereka memperluas preferensinya untuk kategori produk lainnya. Pada umumnya, online shopper tingkat pemula akan melakukan transaksi online untuk kategori produk yang khas seperti perjalanan (travel), fesyen dan buku. “Namun seiring dengan meningkatnya tingkat pengenalan, kenyamanan, dan kepercayaan konsumen, daftar kategori mereka meluas ke area seperti kecantikan, perawatan pribadi, dan produk bayi, dan kemudian bergerak lebih luas lagi ke kategori makanan kemasan dan makanan segar,” lanjut Gale.
Menurut Gale, fakta kenaikan pembelian FMCG melalui online membuktikan terjadinya lompatan signifikan dalam pembelian online pada kategori produk bahan makanan dan makanan jadi dalam beberapa tahun terakhir. Laporan Nielsen ini mengungkapkan bahwa konsumen lebih terbuka untuk membeli bahan makanan kemasan dan segar secara online bila mereka ditawarkan opsi pembelian dan jaminan kualitas tertentu. Hampir setengah (49%) konsumen mengatakan bahwa jaminan uang kembali untuk produk yang tidak sesuai dengan yang dipesan akan mendorong mereka untuk membeli secara online. Sekitar 45% konsumen tertarik dengan layanan penggantian produk pada hari yang sama untuk produk yang tidak tersedia, sementara 44% mencari layanan pengiriman gratis untuk pembelian di atas pembelanjaan minimum.
Yuswohady menyimpulkan, sekarang ini konsumen memang tidak lagi...