Consumer Journey; Jalan Terbaik Menghadapi Tantangan Industri Retail Masa Depan

Yuswohady menyimpulkan, sekarang ini konsumen memang tidak lagi mementingkan apakah beli lewat online atau di toko fisik. Bagi mereka, yang penting adalah convinient, cepat, mudah, dan efisien. Sehingga yang berkembangsekarang adalah omnichannel. “Toko fisik dan channel online menjadi sama pentingnya, karena konsumen sekarang sudah terbagi dua. Tidak ada yang murni hanya belanja lewat online atau toko fisik. Konsumen saat ini mulai gemar belanja online, namun tetap mengunjungi toko fisik dan belanja juga di sana. Jadi dua channel tersebut sama pentingnya untuk menjangkau konsumen,” paparnya panjang lebar.

Lalu, apa yang harus dilakukan merek dan pemilik merek agar tidak larut dalam gelombang tsunami industri ritel saat ini? Yuswohady menegaskan, acuan atau kompasnya adalah consumer journey. “Brand harus jeli melihat masalah yang terjadi di lapangan itu seperti apa. Tiap industri kasusnya berbeda-beda, dan di tiap negara juga berbeda. Ketika brand masuk ke online, dia harus mampu mengombinasikan fitur search, payment yang mumpuni di digital, lalu didukung dengan tingkat keamanan dan jasa pengiriman yang terpercaya,” tegasnya karena konsumen belanja online itu semuanya serba user experience.

Sedangkan bagi merek dan pemilik merek, ada dua faktor yang harus diperhatikan ketika masuk online channel. Pertama, user experience, brand harus bisa memberikan shopping experience yang paling efisien bagi konsumen. Kedua, cost, investasi paling mahal adalah ketika brand yang tadinya sudah online lalu masuk offline. Untuk menyiasatinya, akhirnya mereka kolaborasi dengan Alfamart, Indomart, dan lainnya. Ketiga, reach. Ini juga faktor penting, dan harus benar-benar melihat kondisi pasar seperti apa. Karena kenyataannya tidak semua konsumen bisa dijangkau fully online, seperti segmen Gen X, atau Baby Boomers.

Pertimbangan yang dipilih IKEA Indonesia, menurut Ririn Basuki, Public Relations IKEA Indonesia, memang lebih kepada upaya memberikan shopping experience yang paling efisien bagi konsumen sehingga mulai Juni 2016 menyediakan jasa layanan belanja online. IKEA sebagai toko perabot rumah tangga, sangat memahami kebutuhan pelanggan agar dapat mengakses dan membeli produk IKEA secara online. “Layanan belanja online IKEA memudahkan dan mempercepat proses pemesanan produk-produk IKEA bagi pelanggan yang berada di luar kota,” tegas Ririn yang tetap melihat pentingnya greai offline. “Karena kami tetapharus menjadi pilihan yang baik untuk merasakan pengalaman berbelanja yang menyenangkan bersama keluarga,” lanjut Ririn.

Layanan belanja online IKEA menawarkan lebih dari 6000 produk yang dapat diantar ke seluruh nusantara. Dengan adanya layanan belanja online, diharapkan masyarakat yang tinggal di luar Jakarta pun dapat membeli dan memiliki produk-produk rumah tangga asal Swedia dengan mudah & nyaman. “Terbukti masyarakat antusias berkunjung ke situs www.IKEA.co.id. Bagi kami hal ini merupakan bentuk kepercayaan pelanggan pada produk dan layanan kami,” tegas Ririn meyakinkan bahwa pelanggannya menunjukkan pola belanja yang konsisten hingga awal tahun 2019.

Hal sama dirasakan Satria Hamid, Vice President Corporate Communications Transmart Carrefour terkait upaya menjawab tantangan pergeseran perilaku konsumen. “Sejak 2011, PT Trans Retail Indonesia sudah menerapkan penjualan secara online,” tegasnya pasti. Saat itu, PT Trans menerapkan cara: pelanggan dapat memilih produk yang hendak dibeli melalui website kami, lalu staff kami akan mengambilkannya di toko, kemudian setelah seluruh barang yang diinginkan sudah siap diambil oleh pelanggan. “Pelanggan datang ke gerai, ada counter khusus pengambilan. Di sana pelanggan membayar dan mengambil keseluruhan barang yang dipesan sebelumnya melalui website,” penjelasan Satria yang mengaku respon pasar kurang signifikan.

Maka, untuk menyiasatinya, seperti saran Yuswohady, PT Trans Retail pun memutuskan menjalin kerja sama dengan dengan beberapa e-commerce, seperti Blibli, HappyFresh & HonestBee sehingga, pelanggan kami dapat membeli produk-produk yang ada di Transmart dan Carrefour dengan menggunakan aplikasi e-commerce tersebut. Intinya, menurut Satria, pihaknya pantang mundur. “Trans Retail yang dibawah CT Corp saat ini sedang melakukan transformasi digital, untuk melakukan perubahan-perubahan semua lini bisnis, untuk menjadi mampu menjawab tantangan go digital, go e-commerce, dan mengubah DNA Transmart Carrefour sebagai ritel terbesar di Indonesia yang kekinian,” tegas Satria tentang Transmart yang saat ini sudah memiliki 127 gerai di seluruh Indonesia.

Bagaimana fenomena konvergensi online dan offline di dunia retail diantisipasi oleh pemilik lapak online? Evi Andarini, Corporate Communication Manager Bukalapak mengatakan, pihaknya benar-benar mengembalikan visi awal Bukalapak dikembangkan. Intinya, Bukalapak ingin produknya dapat terjangkau ke seluruh masyarakat Indonesia. Untuk Itu, kini dikembnagkan Mitra Bukalapak untuk membantu warung-warung agar bisa terkoneksi dengan digital. “Ketersambungan antara ekosistem online dan ekosistem offline sebagai salah satu kekuatan besar untuk mengembangkan usaha kecil,” tandas Evi sesuai dengan visi intitusinya.

Menurutnya, kebutuhan masyarakat yang semakin besar dengan teknologi yang membuat hidup menjadi lebih praktis. Masyarakat dapat memanfaatkan Mitra Bukalapak sebagai point of sales untuk di area nya, masyarakat bisa bertransaksi di Mitra Bukalapak seperti bayar BPJS, beli pulsa, dll, sehingga warung-warung ini akan semakin terhubung dengan masyarakat. Dan jika jangkauan pemasaran semakin meningka, Evi meyakini, akan terjadi sebuah ekosistem yang positif. Ada jutaan warung konvensional dapat terhubung dengan digital yang memungkinkan pemilik warung untuk memesan stok barang dagangannya melalui aplikasi untuk langsung diantar ke warung, serta layanan ‘Saldo Bantuan’. “Bukalapak berkomitmen untuk terus memberdayakan pelaku usaha di Indonesia. Kami mengalokasikan 1 Triliun Rupiah untuk membesarkan warung dari segi pengembangan teknologi dan logistik, agar pengiriman logistik dapat lebih cepat, serta harga di warung juga lebih efisien. Disamping itu juga untuk perbaikan tampilan dan branding Mitra Bukalapak. Semua ini demi mewujudkan warung atau Mitra Bukalapak naik kelas,” tandasnya meyakinkan.

Dalam pandangan Yongky Susilo, Consumer Behavior Expert serta Board Expert APRINDO dan HIPPINDO, begitulah gambaran industri retail lima tahun ke depan: gabungan antara digital dan fisik, bukan pemisahan antara kanal offline dan online. “Seamless shopping akan menjadi proses belanja ke depan,” tuturnya.

Menurutnya, saat ini, kontribusi online memang masih rendah, yakni hanya 2%. Tapi, harus diingat, share ritel online akan terus meningkat. Oleh sebab itu, merek dan pemilik merek diingatkan, perkembangan online jangan dilihat sebelah mata. Justru, sekarang saat tepat untuk memperbesar pangsa pasar retail online untuk kategori produk FMCG? Pertama, fokus pada produk dengan membuat program loyalitas serta memikirkan shopping decision journey diimana belanja online bisa mengubah belanja tidak hanya lebih mudah, tetapi juga ada excitement. Di era digital seperti sekarang, konsumen tetaplah manusia. Mereka mahluk emosi. Keputusan membeli pun merupakan keputusan emosi, yang diawali biasanya oleh logika. Mereka juga mahluk perasaan, sehingga yang dicari dalam berbelanja adalah experience. Online saja tidak memenuhi kepuasan emosi dan perasaan. “Oleh karena itu, online tidak akan memusnahkan offline. Semua akan berevolusi ke arah merging antara offline dan online, yaitu menjadi digital store, siogital shipping, dan omni channel,” jelas Yongki.

Ada sejumlah strategi yang dapat dilakukan untuk mengembangkan pasar online. Pertama, tetap fokus pada konsumen. Sebab, ritel adalah Consumer Centric. Kedua, memberikan pelayanan yang terbaik dan selalu membangun value. Ketiga, diskon adalah excitement, bukan pembangun loyalitas. “ Yang perlu diingat, konsumen jaman now itu memang digital, tetapi juga cepat bosan. Jadi, konsumen juga akan cepat beralih, alais tidak loyal. Ini akan menjadi beban bagi pemain e-commerce dalam membangun loyalitas dan gain volume,” lanjutnya panjang lebar.

Yuswohady menambahkan, gambaran industri retail lima tahun ke depan: ada kolaborasi dan akan menjadi kombinasi consumer journey., terutama kombinasi antara big data dan AI (Artificial Intelligence) akan membentuk new shopping experience. “Pemain di industri juga akan kejar-kejaran memanfaatkannya. Seperti contoh Amazone Go yang memberikan pengalaman belanja tidak pakai kasir. Bentuknya toko fisik tapi cara belanjanya seamless,” pengamatannya.

Dengan demikian, berlangganan sebagai bagian dari program loyalitas akan turut berkembang. Salah satu contohnya adalah Amazone Prime. Ketika Amazone memiliki semua produk, dia menggunakan big data analytic untuk memberikan penawaran langsung ke pelanggan Amazone Prime secara personal karena melihat dari history belanja sehingga Amazone tahu produk apa yang paling sering dia beli. Program ini sukses karena konsumen diuntungkan. Selain itu, Amazone juga untung karena dia belanja barang menggunakan skala dan volume-nya besar, sehingga bisa mendapat diskon dari pemilik merek

Sayangnya, sesal Yuswohady, program loyalitas di Indonesia masih sering gagal karena pelanggan tidak tahu fungsi dan manfaatnya. Brand juga tidak berupaya memberi informasi yang jelas. Kalau fungsinya untuk mengumpulkan poin, poinnya untuk apa, kapan bisa digunakan, dan bagaimana menggunakannya, dan seterusnya. “Informasi seperti itu seharusnya bisa dijelaskan secara detil sehingga pelanggan merasakan manfaatnya. Program loyalitas sebenarnya bisa menjadi instant occasion yang justru akan meningkatkan pembelian/transaksi konsumen,” menutup wawancara.

Pages: 1 2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)