Mengapa Unilever Perlu Mempertahankan “ Festival Jajanan Bango ”?

Dalam tujuh tahun terakhir, nilai bisnis kecap nasional mengalami pertumbuhan yang cukup siginifikan. Merujuk data MARS, tahun 2008 nilai bisnis kecap masih di angka Rp 3,21 triliun. Angka tersebut terus bertumbuh tiap tahunnya, dengan rata-rata pertumbuhan tiap tahun mencapai 3,8%. Di tahun 2013, nilai bisnis kecap di Tanah Air menembus Rp 7,14 triliun.

FotoBersama Kecap Bango akan kembali menggelar Festival Jajanan Bango dengan mengusung tema 'Persembahan Kuliner Dari Barat ke Timur Nusantara'

Manisnya bisnis kecap tak hanya diramaikan oleh merek-merek kecap berskala nasional. Layaknya kategori rokok dan kopi, merek kecap lokal berskala daerah pun turut meramaikan pasar kecap. Menariknya, varian kecap pun kini terus bertambah. Seiring dengan preferensi selera konsumen yang telah bergeser, kini kehadiaran varian kecap pedas justru paling digandrungi. Masih merujuk data MARS, dibandingkan varian kecap manis dan asin, selama periode 2008-2013 perkembangan rata-rata produksi kecap terbesar justru diraih oleh kecap pedas, sebesar 31,8% per tahunnya.

Tak mengherankan jika hampir semua merek yang bermain di pasar kecap melempar varian kecap pedas. Mulai dari Ikafood Putramas dengan mengusung brand Kokita—yang notabene menjadi pionor di varian kecap pedas, Kecap Bango, Kecap ABC, dan merek lainnya turut meluncurkan varian kecap pedas guna memenuhi selera konsumen Indonesia.

Unilever Indonesia sebagai pemilik merek kecap Bango merupakan salah satu merek yang paling aktif menggarap pasar kecap. Tak hanya melakukan inovasi produk, Bango juga terlihat aktif melancarkan strategi marketing komunikasinya. Salah satu program yang menjadi andalan Unilever dalah “Festival Jajanan Bango” (FJB). Program yang mengusung misi pelestarian kuliner nusantara itu, telah digelar Unilever sejak tahun 2005. Kini, program tahunan tersebut telah berkembang dan memasuki satu dekade.

Nuning Wahyuningsih, Senior Brand Manager Bango PT Unilever Indonesia Tbk. mengatakan, ”Tahun ini, Bango memiliki misi besar untuk mendorong kecintaan dan kebanggaan masyarakat luas terhadap ragam kekayaan warisan kuliner Nusantara. Sebagai bagian penting dari misi tersebut, kami menghadirkan FJB dengan tema 'Persembahan Kuliner Dari Barat ke Timur Nusantara' untuk mengapresiasi para legenda kuliner Nusantara dan juga memuaskan selera para pecinta kuliner Nusantara.”
Tahun 2015 ini, FJB menghadirkan 56 legenda kuliner Indonesia yang telah teruji kelezatan serta kesohorannya untuk memanjakan lidah para pecinta kuliner Nusantara. Di FJB kali ini, para pecinta kuliner diajak untuk bertualang menjelajah khasanah kuliner Nusantara, mulai dari Area Indonesia Bagian Barat, Area Indonesia Bagian Tengah, hingga Area Indonesia Bagian Timur.

Di tambahkan Nuning, “Di antara puluhan kuliner pilihan yang Bango hadirkan bagi masyarakat Yogyakarta, ada tiga legenda kuliner yang bulan April lalu telah mengharumkan nama Indonesia di pentas kuliner dunia melalui ajang World Street Food Congress 2015. Mereka adalah Gudeg Yu Nap, Kupat Tahu Gempol, dan Ayam Taliwang Bersaudara. Di pesta kuliner internasional yang diikuti 12 negara itu, ketiga legenda kuliner Indonesia mendapatkan sambutan yang luar biasa, maka kami turut menghadirkan mereka dalam FJB tahun ini.”

Di mata Istijanto Oei, Dosen Prasetiya Mulya yang juga Pengamat Marketing, program “Festival Jajanan Bango” sangat tepat dilakukan oleh kecap Bango. Menurutnya, ada tiga alasan utama mengapa FJB perlu digelar Unilever. Pertama, dari jenis festivalnya sudah tergolong festival yang sangat popular, yaitu menyangkut makanan atau kuliner sehingga berhasil mendapat respon masyarakat yang hadir, alias mampu menciptakan crowded.

“Konsumen Indonesia sangat suka makanan. Kita bisa lihat kalau akhir pekan area resto atau pusat jajan di mall selalu penuh. Adanya festival jajanan Bango membuat konsumen ingin mencoba sesuatu yang baru dan juga merasakan kuliner nusantara yang lengkap,” yakin Istijanto.

Kedua, ada pembangunan merek yang cerdik dari Bango melalui brand association, yaitu merek Bango dikaitkan dengan masakan yang lezat dari nusantara. Dengan demikian, tercipta imej jika kecap Bango membuat makanan menjadi lezat, nikmat, enak.

Ketiga adalah adanya asosiasi dengan budaya lokal, yaitu makanan nusantara. Dengan demikian program FJB tidak hanya menjadi CSR (Corporate Social Responsibility) perusahaan, tetapi juga menjadi BSR (Brand Social Responsibility)—suatu tanggungjawab sosial tetapi pada tingkatan merek yang jarang dilakukan suatu merek pada umumnya. “Program itu akan memperkuat persepsi bahwa Bango peduli terhadap pelestarian budaya, sehingga tidak sekadar mengejar aspek bisnis. Efek ini menimbulkan efek positif bagi merek Bango,” nilai Istijanto.

Diungkapkan Istijanto, sebenarnya dalam kurun waktu 1-2 tahun ini persaingan di pasar kecap cenderung tidak ada pergerakan (strategic move). Tak ada pemain yang bisa mengubah peta persaingan kecap secara signifikan. Artinya, dari segi produk, masih datar. Bandingkan dengan industri lain seperti kopi yang bergeser setelah adanya white coffee.

Pages: 1 2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)