Penelitian Jakpat Speed-to-Insight menunjukkan milenial Indonesia bersikeras menolak konsumsi merek makanan cepat saji pasca-boikot, mengedepankan etika dibanding selera.
.
.
Penelitian terbaru dari Jakpat Speed-to-Insight meneliti perilaku konsumen setelah memboikot merek makanan cepat saji, memperlihatkan sikap tegas dari konsumen terhadap merek yang mereka tinggalkan.
Isu boikot global yang terinspirasi dari konflik Palestina-Israel telah mempengaruhi konsumen Indonesia, seiring dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia yang mendukung Palestina dan membatasi pembelian produk yang berhubungan dengan Israel.
Survei Jakpat yang dilakukan pada Februari 2024 melibatkan 1285 responden menunjukkan bahwa mayoritas, terutama generasi Milenial, menghindari produk dari merek yang terkait dengan agresi Israel.
Melalui survei yang diikuti oleh 577 individu yang telah memboikot sebuah merek, ditemukan bahwa mayoritas peserta, yaitu 55%, bertekad untuk tidak kembali mengonsumsi produk dari merek tersebut.
baca: BOIKOT ETIS: GERAKAN SOLIDARITAS UNTUK PERUBAHAN POSITIF
Hasil ini menunjukkan bahwa keputusan mereka bukan hanya didasarkan pada pilihan merek, tetapi juga didorong oleh alasan etis yang mendalam. Keputusan untuk tetap menjauhi merek yang diboykot ini mencerminkan adanya komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai pribadi yang melampaui kesetiaan kepada merek itu sendiri.
Penelitian itu juga menguak bahwa generasi yang berbeda menunjukkan sikap yang beragam. Generasi Z, sering dilihat sebagai pemberontak dengan tujuan, lebih sedikit menentang ide untuk kembali mengonsumsi produk yang sebelumnya diboykot, dengan hanya 26% yang berkomitmen pada keputusan awal mereka.
Di sisi lain, milenial, yang kini menguasai konsumsi pasar dengan kekuatan beli yang signifikan, tampaknya paling banyak menolak ide tersebut, dengan 35% dari mereka tetap pada posisi boikot mereka. Generasi X, yang biasanya dianggap lebih setia pada merek, menunjukkan komitmen boikot yang lebih rendah, dengan hanya 25% yang bertekad tidak kembali.
Faktor-faktor yang mungkin mendorong kembali ke merek-merek yang dulu diboykot sangat beragam, namun ada kecenderungan untuk tergoda oleh rasa yang lezat, yang dinyatakan oleh 37% responden sebagai kemungkinan alasan untuk mengakhiri boikot mereka.
Isu-isu etis juga berperan; 13% mengindikasikan bahwa perubahan...