Transformasi dari Sekolah Tradisional Menjadi Sekolah Entrepreneurship

Penumpukan sarjana membuat perguruan tinggi mengkaji ulang tugas dan perannya. Beberapa perguruan tinggi membuka jurusan kewirausahaan atau memasukkan materi kewirausahaan sebagai tulang punggung program studinya.

Salah satu tantangan yang dihadapi perguruan tinggi di Indonesia adalah bagaimana menciptakan lulusan yang siap beradaptasi dengan lingkungan kerja. Ini karena saat ini banyak lulusan perguruan tinggi yang tidak terserap oleh masyarakat atau dunia kerja karena rendahnya kompetensi mereka. “Ada sekitar 600 ribu penganggur terbuka lulusan perguruan tinggi baik diploma maupun sarjana,” kata Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Edy Suandi Hamid.

Sebenarnya, pemerintah sudah menuju ke arah sana. Gerakan Kewirausahaan Nasional (GKN) yang dicanangkan pemerintah pada 2011, meski dalam beberapa hal berhasil, nampaknya kurang gregetnya dalam menanggulangi masalah penyerapan lulusan perguruan tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh tingginya angka pengangguran lulusan perguruan tinggi. Program GKN dimaksudkan untuk menghasilkan lebih banyak pengusaha baru di Indonesia. Program GKN yang diikuti 12 lembaga milik negara di bawah koordinasi Kementerian Ekonomi ini membangun pengusaha start-up lokal dan menciptakan 1% dari pengusaha Indonesia pada 2014.

Saat GKN dicanangkan, porsi wirausahawan Indonesia hanya 0,24% dari total penduduk. Kekuatan wirausahawan Indonesia kalah jauh dibandingkan dengan Singapura yang memiliki perbandingan jumlah wirausahawan dan penduduknya mencapai 7,2%, Malaysia 2,1%, Thailand 4,1%, Korea Selatan 4,0%, dan Amerika Serikat 11,5% dari total populasi mereka (Antara News, 2011). Dengan upaya intensif melalui kegiatan kurikulum atau siswa, pemerintah mentargetkan 20% lulus siswa bisa menjadi pengusaha berpendidikan pada tahun 2014. Bila target tersebut tercapai diperkirakan mampu meningkatkan persentase pengusaha Indonesia, dari 0,24% menjadi 2% dari total penduduk (Kompas News, 2009).

Gambaran suram lulusan perguruan tinggi ini membuat para orang tua ragu-ragu juga untuk menginvestasikan anaknya melalui dunia pendidikan. Bila dulu sekolah –tertama perguruan tinggi – menjadi alternatif utama dalam mendorong mobilitas vertikal warga, kini meraka ragu apakah bila melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi akan mampu bergerak ke atas. Ini memaksa perguruan tinggi memikirkan ulang strategi produknya dengan menawarkan bidang studi yang dalam persepsi publik memenuhi kebutuhan industri.

Fenomena ini dapat dilihat dari trend bidang studi yang menjadi pilihan calon mahasiswa. Dalam beberapa tahun terkahir, calon mahasiswa banyak meminati bidang teknologi informasi/ilmu komputer, akuntansi, hukum, kedokteran umum, komunikasi, desain komunikasi visual, psikologi, manajemen, Hubungan Internasional, dan teknik (industri, sipil, dan mesin). Sebagian besar pilihan perguruan tingginya juga memiliki nama yang dikenal. Untuk komunikasi misalnya, berdasarkan riset yang dilakukan Majalah MIX-Marcomm, perguruan tinggi swasta favorit adalah STIKOM LSPR Jakarta.

Saat ini banyak perguruan tinggi yang menata ulang program studinya. Penataan ulang peran dan tugas perguruan tinggi dilakukan guna menghadapi perubahan yang cepat dengan mengarah pada pengembangan Entrepreneurial University dengan menciptakan inkubator bisnis bagi mahasiswanya. Pentingnya Entrepreneurial University dengan menyediakan mahasiswanya ide-ide baru, keterampilan dan kemampuan untuk berpikir dan menanggapi tantangan sosial, meningkatkan co-creation dengan mitra eksternal menjadi sumber penggerak agar perguruan tinggi dapat bertahan.

Perguruan tinggi tradisional biasanya terlibat dalam dua kegiatan utama: pengajaran dan penelitian. Kini terjadi pergeseran peran tradisional perguruan tinggi dengan mengambil pendekatan baru, yakni komersialisasi pengetahuan baru untuk pembangunan ekonomi. Disini perguruan tinggi mengintegrasikan misinya dengan pembangunan sosial ekonomi dan sosial dan memperluas tugasnya dari semula hanya sebagai universitas pengajaran dan penelitian tradisional menjadi universitas wirausaha.

Paradigma ini membawa konsekuensi menggeser perannya dengan memberikan pendidikan kewirausahaan yang diperlukan untuk wirausaha masa depan dengan mengembangkan ketrampilan dan pengetahuan pengambilan keputusan intuitif, kemampuan untuk membuat sesuatu terjadi secara mandiri, membangun jaringan, mengambil inisiatif, mengidentifikasi peluang, pemecahan masalah secara kreatif, pemikiran strategis, dan self-efficacy, kemampuan individu untuk mengatasi perubahan lingkungan eksternal secara tak terduga dan cara kewirausahaan terkait tindakan, cara berpikir, berkomunikasi, mengorganisir dan belajar.

Beberapa perguruan tinggi membuka jurusan kewirausahaan atau memasukkan materi kewirausahaan sebagai tulang punggung program studinya. Meskipun manajemen bisnis dan kewirausahaan secara tradisional merupakan domain sekolah atau perguruan tinggi bisnis, minat yang kuat untuk mengembangkan kewirausahaan mendorong program non-bisnis semakin berfokus pada pendidikan kewirausahaan (Johnson, Craig, & Hildebrand, 2006).

Institut Teknologi Bandung (Bandung) misalnya sejak 2013 membuka program studi entrepreneurship dan peminatnya semakin banyak. Di program studi ini, mahasiswa mempelajari proses pembentukan sebuah bisnis, mulai dari melihat peluang, membuat perencanaan, menjalankan strategi, hingga menganalisa resiko. Di jurusan entrepreneurship ini, mahasiswa dibentuk menjadi pelaku bisnis yang berwawasan ke depan, serta berani mengambil tantangan dan risiko. Perguruan tinggi lain di Bandung seperti Universitas Kristen Maranatha, Telkom University, dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menggarap serius kewirausahaan ini.

Pages: 1 2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)