Mengenang Legenda Periklanan Indonesia Indra Abidin

“Satu hal yang masih diharapkan Bapak adalah industri periklanan bisa menjaga kebersamaannya. Yang senior membina yang junior, yang multinational membangun yang lokal, dan seterusnya. Beliau juga sangat berharap anak-anak muda banyak yang turun membangun organisasi. Yang terakhir ini suit terwujud,” Indira mengisahkan.

Membangun Budaya Egalitarian
Sisi lain yang menarik untuk mempopularkan keteladanan dari seorang Indra Abidin adalah budaya egalitarian yang dibangunnya. Ia berprinsip bahwa boss dan warga adalah sama. Artinya, karyawan itu adalah anggota keluarga. Oleh karena itu, ia lebih memilih nama "warga", bukan karyawan.

“Yang beda adalah job desc-nya. Jadi, harus saling hormat, saling sayang, dan saling membantu. Dengan prinsip itu, Bapak pun memanggil semua orang dengan panggilan bapak atau ibu, mulai dari sopir hingga Managing Director,” terang Indira.

Indra pun memegang prinsip bahwa semua warga penting dalam kapasitasnya masing-masing. Mereka harus berbuat yang terbaik dan didukung untuk bisa berbuat yang terbaik. “Bapak biasa menjalankan 'walking around management' yang keliling pagi-pagi untuk nengokin seluruh warga dan ngobrol satu-satu sama warga. Ini yang membuat mereka merasa 'punya ayah' di kantor,” kata Indira mengenang.

Di mata Indra, sepanjang kita terus menjaga kebersamaan, persahabatan, kekeluargaan, maka nilai-nilai Asia yang sangat kaya dan bijaksana akan dapat menjadi 'amunisi' untuk menghadapi berbagai tantangan. “Hal Ini tidak hanya menjadi harapannya di industri, tetapi juga harapannya di Fortune,” pungkas Indira.

Dan, positive thinking is the key. Artinya, kita harus mampu membangun bahasa positif di kantor. Bahasa adalah cerminan cara pikir. Selain itu, prasangka buruk sangat pantang. Sebaliknya, harus prasangka baik, optimis, dan melihat kesempatan dalam kesempitan.

“Prinsip tersebut salah satunya diimplementasikan pada saat krisis 1997. Kami semua (warga Fortune) dikumpulkan. Waktu itu, aku masih anak bawang. Kami semua diminta mencari 'kesempatan' yang hanya ada dalam masa krisis. Setiap orang diminta kontribusi. Ini yang menghasilkan kampanye Aku Anak Sekolah, kampanye yang memang hanya ada berkat krisis,” urai Indira.

Bagi sang putri, cara berpikir kesempatan dalam kesempitan itu juga mampu membangun kepribadiannya. Ia mencontohkan bagaimana dirinya justru bisa happy saat didiagnosa kanker. “Sebab, terbuka sudah celah kesempatan kredibilitas yang hanya bisa didapat oleh seseorang yang memang punya kanker,” tutupnya.

Pages: 1 2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)