Corporate Social Responsibility/CSR harus praktis, aplikatif, berkelanjutan, berbasis pasar, dan menguntungkan masyarakat luas. Karena prinsip CSR sekarang bukan sekadar melaksanakan kewajiban moral dan tanggung jawab sosial ke masyarakat, melainkan bagaimana perusahaan bisa menyelaraskan antara dua kepentingan: “membangun dunia lebih baik” dengan “mencapai bottom line perusahaan”.
Penulis: Dyah Hasto Palupi/Laporan: Marina Silalahi
Menyimak aktivitas CSR di Tanah Air, memang seperti melihat euphoria berderma perusahaan-perusahaan Indonesia. Meriah, berlimpah, tapi tidak terarah. Masing-masing perusahaan berlomba-lomba melaksanakan kewajiban moral dan tanggung jawab sosialnya ke masyarakat, tapi kurang disertai dengan pemahaman tentang kewajiban moral dan tanggung jawab sosial tersebut. Akibatnya, seperti diungkap Tirta N. Mursitama, M. Fadhil Hasan dan Iman Y. Fakhrudin dalam bukunya bertajuk “Corporate Social Responsibility (CSR) di Indonesia: Teori dan Implementasi”, praktik CSR di Indonesia seringkali tidak berkelanjutan (short-lived), dan tidak tepat sasaran sesuai kebutuhan masyarakat, dan tidak fokus. Sehingga, seperti kita saksikan bersama, meskipun meriah dan berlimpah, tetapi tidak cukup berarti untuk disajikan sebagai informasi publik yang bernilai.
Sebenarnya bukan hanya di Indonesia praktik CSR berkembang seperti demikian. Di negara maju pun, penerimaan dan pendekatan terhadap CSR masih sangat heterogen. Meskipun CSR sudah menjadi norma bisnis internasional, tapi masih banyak perusahaan di negara maju maupun di Indonesia yang menafsirkan praktik CSR berbeda-beda. Ada yang telah mengembangkan konsep CSR menyatu dengan strategi dan perencanaan bisnis perusahaan, tapi ada juga yang sekadar mendompleng aktivitas perusahaan, yang penting berbagi. Hal itu menyebabkan CSR seolah berdiri terpisah tanpa bisa dimaknai. CSR belum menjadi isu penting yang mendominasi wacana ruang publik. Ia masih menjadi ajang diskusi para elit pemerintah, bisnis, dan akademisi secara ekslusif.
Nancy Lee, pakar Marketing & Corporate Social Initiative yang juga pengajar mata kuliah Social Marketing di berbagai universitas ternama di Amerika—antara lain the University of Washington's dan Evans School of Public Affairs, menilai ada cara pandang yang salah dalam memaknai kewajiban moral dan tanggung jawab sosial perusahaan. Menurutnya, CSR harus dipandang dalam konteks yang menyeluruh (holistic). Bahwa yang mendorong CSR adalah moral obligation, bukan karena aturan ataupun regulasi. “CSR itu seharusnya beyond the rules and regulations,” ujarnya. Menurut Nancy, membangun dunia lebih baik adalah kewajiban moral perusahaan di atas bumi. Ada ataupun tanpa aturan, kewajiban moral harus dipenuhi. Di lain pihak, fitrah perusahaan yang ingin bertumbuh juga tidak boleh diingkari. Intinya, antara bisnis dengan kegiatan sosial tidak boleh dipertentangkan. Dua hal itu, Nancy menegaskan, harus diselaraskan, dilakukan seiring sejalan.
Seperti diketahui, prinsip CSR adalah meningkatkan kesejahteran masyarakat melalui praktik bisnis dengan memaksimalkan sumber daya perusahaan. Artinya, bisnis tetap nomor satu dan menjadi motor penggerak utama. Itu sebabnya, Nancy lebih suka menyebut CSR sebagai pendekatan marketing and corporate social initiatives, bukan sekadar tanggung jawab sosial perusahaan.
M. Gunawan Alif
Dr. M. Gunawan Alif, Vice Rector Sampoerna University, yang juga penulis buku mengenai Stratejik CSR: “Cagak Sawita Rupa.” membenarkan praktek CSR di Indonesia maupun di dunia yang memang belum optimal. Menurutnya, konsep CSR akan terus berkembang dan diperbarui.
Yang terbaru, konsep CSR dimaknai sebagai Social Responsible Business Practice (SRBP). Gunawan melihat sah-sah saja pemaknaan itu. Jika melihat sejumlah UU dan Peraturan Pemerintah sudah memberikan arahan mengenai hal itu, tentu menjadi keharusan mematuhinya “Perusahaan tentu harus compliance, jika tidak beyond compliance, dalam praktik-praktik bisnis dengan tanggung jawab sosial.
Apapun, menurut Gunawan, perlu dipahami bahwa pembaruan konsep CSR dimulai dari alasan perusahaan melakukan inisiatif CSR. Ada 4 hal yang diketahuinya. Pertama,perusahaan yang memiliki sumberdaya yang besar (karena umumnya bisnisnya juga besar) yang biasanya memiliki sumberdaya finansial sehingga cukup aktif melakukan inisiatif CSR. Kedua, perusahaan yang memiliki mekanisme manajemen yang baik dan juga mengelola inisiatif CSR mereka dengan baik sehingga berdampak positif bagi kinerja perusahaan. Tiga, perusahaan yang melakukan inisiatif CSR karena sejumlah kegiatan negatif yang mereka lakukan di masa lalu, sehingga inisiatif CSR dilakukan untuk memperlihatkan adanya niat baik untuk memperbaiki diri; Empat, perusahaan yang mengembangkan inisiatif CSR untuk berjaga-jaga seandainya di masa depan perusahaan melakukan sejumlah kesalahan dalam pengelolaan kegiatan bisnis perusahaan.
Mengacu dari keempat model inisiatif CSR ini, maka dapat disimpulkan bahwa banyak perusahaan di Indonesia yang belum menemukan konsep CSR ideal. Gunawan mengatakan, kendala terbesar dalam merancang inisiatif CSR adalah pemahaman mengenai CSR itu sendiri di level manajemen. Hal ini semakin rumit dengan banyaknya pemburu rente yang juga memanfaatkan jargon CSR. Pemda dan politikus sering menggunakan frasa CSR ini untuk vested interest mereka sendiri dan bukan untuk sebesar-besarnya pembangkitan manfaat bagi pemangku kepentingan (stakeholders).
Oleh karena itu, menurut Gunawan, program CSR yang...