Memikirkan Ulang Soal Promosi Tujuan Wisata #CityBranding

 

Belakangan di daerah-daerah atau kawasan tumbuh pusat kuliner lokal yang melayani kebutuhan wisatawan. Mereka dipromosikan. Tapi apakah wisatawan itu sejatinya membutuhkan makanan atau experientialnya?

Sering muncul pernyataan bahwa kita harus menjadi yang terbaik. Keliru? Tidak. Sebab bagaimanapun menjadi yang terbaik adalah baik. Tapi, hal itu bukanlah satu-satunya yang ingin dicapai. Karena saat ini hampir semua produk atau merek mengatakan yang terbaik. Ketika semua terbaik, yang terjadi adalah fenomena generik atau semuanya sama. Ketika sesuatu menjadi paritas - menjadi sebaik orang lain – itu adalah pertanda bahwa sesuatu tadi buruk.

Dalam konteks kota, menjadi kota yang menjadi tujuan investasi, wisata dan sebagainya memang tidak harus terbaik. Yang penting bisa menampilkan sesuatu yang unik. Lalu apakah tidak menjadi yang terbaik itu sesuatu yang buruk? Mungkin tidak.

Berjuang untuk menjadi yang terbaik dalam segala hal, untuk menjadi yang terbaik dalam industri Anda, destinasi misalnya, saat ini menjadi salah langkah yang sudah terlalu umum. Ini karena semua orang melakukan itu sehingga bila produk Anda misalnya tidak menjadi yang terbaik kemungkinan besar akan tergilas.

Masalahnya adalah Anda mungkin tidak bisa menjadi yang terbaik dalam segala hal. Anda juga tidak bisa memenuhi keinginan semua orang hanya dengan satu kelebihan. Selain itu, menjadi yang terbaik sangat bergantung pada siapa yang melakukan menyatakan bahwa Anda adalah yang terbaik. Kalau diri Anda sendiri yang mengatakan, itu adalah menghibur diri. Orang lain yang menyatakan juga tergantung pada siapa mereka itu sebenarnya.

Namun demikian, cerita orang lain tetap penting. Persolannya adalah saat ini hampir semua kota melakukan branding. Bahkan city branding kini menjadi salah satu strategi bagi sejumlah penerbangan, hotel, serta taman wisata untuk mendongkrak kinerja merek mereka. Tak mengherankan, jika aneka merek yang terkait dengan industri pariwisata tersebut tampak agresif menggelar upaya marketing komunikasi yang bermuara pada city branding.

Mem-branding sebuah kota, atau lebih dikenal dengan istilah city branding, memang tak hanya tugas pemerintah daerah setempat. Pihak swasta, yang terkait dengan industri pariwisata pun bisa turut berkepentingan dalam menkomunikasikan kota. Sebut saja, jasa penerbangan, penginapan, restoran, hingga lokasi-lokasi wisata. Sejauh ini beberapa kota telah mulai menerapkan konsep city branding, namun mungkin perlu dibutuhkan adanya strategi-strategi yang komprehensif.

Yang jadi masalah adalah bagaimana kota membedakan dirinya dengan kota lainnya. Perlu diperhatikan agar brand suatu kota dapat menonjol dibandingkan dengan kota-kota lainnya. Sudah terlalu banyak kota-kota di dunia ini yang mengambil brand yang mirip dengan kota-kota lainnya.

Seperti misalnya logo I Love Amsterdam dan I Love New York. “Meskipun kedua kota ini sangat berbeda, tapi penggunaan landmark I Love… sebagai bagian dari identitas visual mengakibatkan adanya kebingungan pada konsumen dalam hal branding,” kata Daniel Surya, Chairman and CEO DM ID Group.

Seperti diketahui, untuk membntuk sebuah positioning, pengelola harus mengkomunikasikan semua identitas itu, dan memberi kesempatan kepada stakeholdernya untuk menikmati pengalaman. Bentuk-bentuk komunikasi pemasaran tradisional cenderung membombardir konsumen dengan pesan.

Pages: 1 2 3

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)