Memikirkan Ulang Soal Promosi Tujuan Wisata #CityBranding

Wisatawan juga mencari pengalaman yang mencari keaslian dan wilayah. Dengan demikian, wisatawan dapat tertarik suatu destinasi karena berburu pengalaman kuliner yang bisa diperoleh, seperti fine dining di restoran atau warung sate.

Konsumen atau wisatawan sejatinya tidak membeli fitur produk, mereka membeli manfaat produk, terutama emisionalnya. Sebagaimana dikatakan oleh Theodore Levitt, 'Pelanggan tidak membeli mata bor ¼ inci, mereka membeli lubang sedalam ¼inci'. Jadi perilaku pembelian konsumen kini dibedakan oleh keinginan untuk membeli sebuah 'pengalaman' merek.

Sekarang mungkin mereka membeli pengalaman seperti itu dari rak di pengecer jalan. Mereka mengunjungi tempat-tempat eksotik dengan mengendarai Ferrari dan membuat foto pribadi. Atau membeli sensasi menyelam dengan hiu di Afrika Selatan dengan menggunakan merek menyelam tertentu, dan sebagainya. Anak-anak di bawah 17 tahun ditawari pilihan pengalaman pertama, seperti mengemudi mobil balap atau menjadi presenter TV.

Experiential marketing merupakan salah satu bentuk pemasaran yang menciptakan hubungan emosional dengan konsumen dengan cara yang sangat pribadi, relevan dan mudah diingat. Ini bisa dilakukan dengan memanfaatkan satu atau lebih indera seperti sentuhan, rasa, bau, penglihatan, dan pendengaran, sebagai titik sentuh atau koneksi merek dengan konsumen dalam bentuk pengalaman yang pribadi, kenangan, dan interaktif. Pengalaman bisa dalam bentuk sesuatu yang sederhana seperti pembagian sampel gratis di sebuah acara atau sesuatu yang kompleks sebagai acara yang direncanakan di mana merek menjadi pusat acara.

Istilah experiential marketing relatif baru, tapi konsep dasar di balik konsep tersebut tidaklah baru. Sebab pada dasar merek selalu memanfaatkan product sampling, promosi produk khusus, PR, dan event khusus. Yang baru adalah pengaplikasian konsep keterlibatan konsumen dengan merek. Untuk menciptakan keterlibatan konsumen tersebut dibutuhkan rancangan pengalaman yang ingin ditawarkan dan mengintegrasikan berbagai bentuk komunikasi pemasaran untuk mendukung pengalaman tersebut.

Itu berarti pemasar menawarkan event sebagai pusat dari kampanye experiential marketing. Untuk mendorong wisatawan mengunjungi Bandung misalnya, Dinas Pariwisata menghadirkan “rasa” Bandung ke pusat-pusat kota. Jadi misalnya Anda mengunjungi Bandung, pengalaman apa yang dapatkan? Apa yang Anda alami selama di Bandung?

Untuk membangun experiential, kampanye dilakukan dengan memanfaatkan tim jalanan yang terdiri atas gadis-gadis yang mengenakan pakaian bersejarah. Gadis-gadis menyambut Anda dengan senyum dan sebagainya. Untuk lebih melibatkan orang-orang tersebut, ada insentif berupa kontes untuk memenangkan perjalanan udara ke negeri matahari di tengah malam.

Jadi dalam konteks experiential komponen pengalaman merupakan bagian dari kampanye komunikasi terintegrasi yang mencakup iklan di bioskop misalnya, poster di luar ruangan, tempat transit, media cetak, media sosial, dan iklan digital. Begitulah experiential.

Beberapa kota yang melakukan aktivitas pemasaran (selain dari pariwisata normal dan promosi investasi) selama periode ini telah menunjukkan perbaikan yang nyata secara pada image mereka secara keseluruhan, sementara negara lain yang telah menghabiskan anggaran yang sangat besar untuk iklan dan kampanye PR, nilai merek mereka tetap stabil atau bahkan menurun.

Namun demikian, ini harus dicermati. Kampanye pariwisata memang bisa membujuk orang untuk pergi berlibur ke suatu tertentu negara. Tetapi tidak ada yang mengejutkan atau kontroversial tentang ini sebab semua orang tahu bahwa produk atau jasa dapat secara efektif dijual kepada khalayak target dengan menggunakan komunikasi pemasaran.

Kadang-kadang, kampanye ‘citi branding’ efektif dalam menciptakan kesadaran dan bahkan recall pada khalayak sasaran tertentu. Tetapi tidak ada sesuatu yang mengejutkan tentang hal itu. Sebab jika Anda cukup sering mengulangi slogan itu, pada akhirnya orang mengakui itu, dan bahkan mungkin ketika ditanya mereka dapat mengulanginya. Apakah awareness dan recall memiliki kekuatan untuk mengubah pendapat dan perilaku mereka terhadap suatu kota, itu masalah lain.

Pages: 1 2 3

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)