Hasilnya, kemasan sachet berhasil menyelamatkan penjualan Unilever yang ada saat itu merossot. Melihat hasil tersebut, kemasan sachet yang ada awalnya hanya sebagai sekadar taktik bertahan hidup, selanjutnya dijadikan dasar strategi Unilever lebih luas untuk pasar Indonesia. Sejak itu, Unilever menggenjot produk kemasan sachet dan menambahkan produk baru ke dalam daftar kemasan itu, termasuk untuk teh dan mentega.
http://edhy-aruman.blogspot.com/2015/08/akankah-kemasan-sachet-marak-kembali.html
Dalam perkembangan, konsep ini juga telah diterapkan pada produk dan layanan selain sampo, seperti pulsa atau waktu bicara telepon seluler 10 menit, yang menghabiskan sebagian kecil dari waktu bicara reguler 60 menit. Pertimbangan konsumen membeli produk dalam kemasan kethengan itu pun beragam.
Selain di Indonesia, kemasan sachet juga berkembang di pasar negara berkembang lainnya seperti India dan Filipina. Tujuh dari sepuluh perokok Filipina membeli rokok mereka secara ketengan (Javier, 2006), dan 68 persen penjualan shampo Procter & Gamble (P & G) di Filipina adalah dalam kemasan sachet (Ong, 2006).
Kebanyakan orang Filipina (hampir 90 persen) sekarang membeli produk dalam bentuk sachet dan ukuran mini (Olarte dan Chua, 2005). Di India, lebih dari 95 persen penjualan sampo dalam kemasan sachet (Hammond dan Prahalad, 2004). Ini menunjukkan bahwa sachet diterima oleh konsumen di seluruh strata sosio-ekonomi.
Namun beras memiliki karakteristik yang berbeda. Tidak seperti produk konsumen seperti sampo atau sabun mandi, selama ini konsumen memiliki keleluasaan menentukan kuanttas beras yang dibeli. Ini berbeda dengan produk sabun dimana konsumen tidak memiliki keluasaan karena produsen dari awal sudah mengemasnya dalam volume yang besar.
Selain menawarkan opsi untuk membeli paket yang lebih kecil, struktur industri ritel di suatu negara juga berpengaruh terhadap keberhasilan kemasan sachet. Pemasaran sachet melibatkan proses mendesain ulang, mengemas, dan menjual produk dalam paket kecil, tersedia dengan harga terjangkau. Itu tidak fokus hanya pada produk fisik tetapi juga seluruh sistem pemasaran, dari harga hingga pengiriman, distribusi, dan penggunaan.
Design ulang berimplikasi pada biaya. Penjualan dalam kemasan kecil akan menambah biaya termasuk karena penyediaan dan penggunaan kemasan yang lebih banyak. Selain itu meningkatkan potensi kerugian yang diakibatkan oleh deviasi dalam timbangan. Dalam hal ini konsumen selalu menuntut timbangan yang lebih ketimbang yang kurang.
Karenanya semakin banyak kosumen yang berperilaku seperti itu, semakin besar potensi kerugian yang dialami pedagang. Namun, dengan memasok produk yang sudah dikemas di tingkat produsen, katakanlah dalam sachet, potensi kerugian pedagang itu dikurangi dengan kebijakan pengemasan pada tingkat produsen, bahkan membantu pedagang mempermudah dalam melayani permintaan konsumen.
Memperkecil ukuran atau porsi kemasan yang disertai dengan penurunan harga dianggap sebagai taktik pemasaran yang efektif selama kondisi ekonomi melemah. Demikian sebaliknya, ketika ekonomi membaik, memperbesar kemasan juga bisa diguakan sebagai taktik untuk menaikkan harga.
Misalnya, selama beberapa waktu, suatu produk dijual dalam kemasan 800 mil, kemudian produk menambah 100 ml sebagai bonus dan harga dinaikkan. Selanjutnya, setelah penjualan naik volumenya dikembalikan ke 80 ml, namun harganya tidak berubah. Karenanya, memperkecil atau memperbesar kemasan yang dilakukan benar dapat menyebabkan peningkatan frekuensi dan kuantitas pembelian.
Mengemas produk dalam berbagai ukuran dipandang bisa dilihat...