Kasus vaksin palsu yang belakangan ini menjadi salah satu isu paling santer diperbincangkan, akhinya menyeret 14 rumah sakit, 6 bidan, dan 2 klinik di wilayah Bekasi dan Jakarta. Data rumah sakit, kinik, dan bidan yang terseret vaksin palsu—yang telah dirilis resmi oleh Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek pada pertengahan Juli ini (14/7)—sontak saja mempertaruhkan citra atau image dari rumah sakit atau klinik tersebut.
Sayangnya, respon manajemen rumah sakit yang terseret kasus vaksin palsu serpetinya kurang siap dan tidak menunjukkan empati. Tak sedikit orang tua yang anaknya mendapatkan vaksin di rumah sakit tersebut merasa kecewa dengan sikap dari manajemen rumah sakit. Bahkan, lewat tayangan televisi, ratusan orangtua tampak meluapkan kekecewaan mereka sambil marah-marah kepada pihak rumah sakit. Lantaran, mereka tidak “diladeni” dan diberi kejelasan akan tanggung jawab rumah sakit terhadap anak-anak mereka yang menjadi korban vaksin palsu.
Kemarahan orangtua korban vaksin palsu makin memuncak, ketika pihak rumah sakit tidak bersedia menemui. Padahal, mereka sudah menunggu sangat lama. Sebaliknya, pihak kuasa hukum rumah sakit-lah yang ditunjuk untuk menemui ratusan orantua korban.
Menurut Dosen Komunikasi Universitas Indonesia Bambang Sumaryanto, dalam menghadapi situasi seperti itu, terlepas pihak rumah sakit dan staff-nya menjadi korban karena ketidaktahuan ataupun secara tidak langsung terlibat, maka sudah seharusnya pihak rumah sakit perlu segera merumuskan langkah pencegahannya.
“Sebenarnya, begitu isu kasus vaksin palsu ini terungkap ke publik, pihak rumah sakit harus segera melakukan proses cek, apakah rumah sakitnya memiliki riwayat yang berhubungan dengan CV atau nama-nama yang terlibat dalam kasus vaksin palsu. Artinya, langkah pencegahan seharusnya sudah dapat diambil rumah sakit sebelum daftar nama rumah sakit yang terlibat dirilis oleh pemerintah,” anjur Bambang.
Langkah tersebut, menurut Bambang, mudah dilakukan. Sebab, biasanya pembelian dilakukan melalui departemen pengadaan/pembelian. Dengan melakukan checking nama supplier serta para representatifnya, maka pihak rumah sakit akan tahu lebih dulu apakah rumah sakit atau klinik mereka terlibat atau tidak—sebelum pemerintah merilis resmi daftar rumah sakit yagn terlibat.
Selanjutnya, atas dasar investigasi awal oleh pihak rumah sakit di bagian purchasing, diyakini Bambang, seharusnya manajemen rumah sakit mulai bisa melakukan langkah proaktif yang menenangkan pasiennya. Hal ini bisa dilakukan melalui komunikasi via media mobile seperti Whats App atau surat yang mengkomunikasikan sekaligus menjelaskan bahwa demi menjaga keselamatan dan kesehatan bayi di rumah sakit tersebut, saat ini rumah sakit sedang melakukan investigasi mendalam untuk memastikan bahwa vaksin yangg digunakan adalah asli.
Penjelasan tersebut kemudian ditambah dengan seri penjelasan tentang vaksin, manfaatnya, serta resiko bila vaksinnya ternyata tidak berfungsi sebagaimana mestinya karena palsu. Berikutnya, langkah yang perlu dilakukan oleh rumah sakit adalah untuk memastikan dan mengetahui berfungsi-tidaknya vaksin yang diterima sang anak. “Semua itu dapat dijelaskan oleh dokter dengan tepat, sehingga pasien tak terprovokasi oleh berbagai informasi liar di social media,” tandasnya.
“Bila pihak rumah sakit melakukan langkah preventif seperti itu, maka tentu pihak rumah sakit akan memiliki kesiapan dalam mengantisipasi bila namanya tersangkut dan bahkan dianggap terlibat dalam penyebaran vaksin palsu. Dengan demikian, pihak Humas Rumah Sakit dapat segera menyiapkan beberapa skenario untuk menghadapi krisis yang sebenarnya. Misalnya, apakah strategi yang dilancarkan harus proaktif atau reaktif, termasuk untung ruginya,” saran Bambang.
Lantas, apakah pihak rumah sakit hanya cukup menyediakan posko pengaduan dalam menghadapi krisis seperti itu? Dijawab Bambang, “Tentu tergantung layanan apa yang disediakan oleh posko tersebut. Semestinya, ada dokter yang memberikan penjelasan detail bila ada pasien datang, sehingga pasien menjadi lebih tenang. Namun, menyediakan posko pengaduan saja belumlah cukup dalam menghadapi krisis seperti itu. Rumah sakit perlu menyediakan layanan check up atau test sejenis secara gratis untuk mengetahui apakah vaksin sudah ada di dalam tubuh sang anak atau belum. Ini penting untuk mengetahui tindakan selanjutnya, apakah perlu vaksin atau tidak.”
Apakah pimpinan rumah sakit perlu buat statement? “Sangat perlu, karena untuk menunjukkan keseriusan perusahaan. Namun, apakah rumah sakit perlu menggelar press conference, maka tergantung kesiapan rumah sakit dan pimpinan rumah sakit. Bila pimpinan tidak siap, cukup pihak Humas dan didampingi oleh salah satu unsur direksi yang paling siap dan tak mudah terprovokasi yang bebicara di hadapan media,” jawabnya.
...