Pandemi, Pilih Vacuum atau “Stay Connected”?

M. Rangga Wiranatakusumah, Brand Activation Consultant DNA Jakarta

Pandemi Covid-19 yang berujung krisis memang tak terhindarkan bagi semua segmen industri. Termasuk, brand activation agency yang tercatat paling parah terdampak. Mengingat, aktivasi merek atau event identik dengan penghimpunan massa dan pemanfaatan venue--dua hal yang notabene paling dilarang di masa Pandemi. 

Hal ini ditandai dengan turunnya revenue hingga lebih dari 50% selama pandemi. Bahkan, beberapa dari brand activation agency, mengambil jalan untuk vacuum terlebih dahulu selama pandemi. Sayangnya, memilih vacuum sementara dapat berefek pada awareness agensi yang dapat hilang dari “On Radar” klien dan juga hilangnya potential talent yang tadinya sudah dimiliki.

Sebenarnya, ada banyak cara kreatif yang dapat dilakukan brand activation agency untuk tetap bertahan di masa pandemi. Salah satunya adalah Stay Connected. Artinya, di masa pandemi, agensi harus tetap terkoneksi sekaligus engage dengan klien (brand) dan klien pun harus tetap terkoneksi dengan audience-nya.

Perlu diingat, klien tidak menahan bujet mereka untuk menggelar aktivasi merek selama pandemi. Melainkan, mereka hanya butuh waktu untuk me-reinvent strategi. Klien, termasuk agensi, tidak pernah mengira akan menghadapi situasi seperti ini. Karena, sebelumnya, kita tidak pernah menjumpai krisis akibat pandemi. Lumrah jika pada satu bulan pertama, kita shock dan sedikit menunggu agar situasi terlihat lebih jelas.

Ada tiga langkah untuk tetap stay connected. Pertama adalah ADAPTASI. Agensi atau brand harus segera melakukan adaptasi. Misalnya, dengan menghadirkan strategi pemasaran beyond sales dan mengedepankan konsep relationship. Justru pandemi menjadi saatnya bagi klien dan agensi saling mendukung tidak selalu mencari untung.

Mulailah dengan memahami kondisi, pergeseran perilaku, sekaligus perubahan preferensi audience. Demikian juga dengan agensi, harus memahami klien dengan cara memonitor dan menganalisis perubahan itu. Artinya, brand tidak harus (jualan) hardsell ke audience-nya dan agensi juga tidak harus hardsell ke kliennya. Jadi, kesampingkan dulu mencari keuntungan yang besar layaknya kita dalam kondisi normal. Sejatinya, dengan tetap stay connected, pasti ada peluang yang dapat didiskusikan dengan klien untuk tetap menggelar aktivasi merek selama pandemic, dan terjaganya trust dan relationship adalah hal yang sangat berharga bagi kita.

Kedua adalah KONEKSI ANTAR-CHANNEL. Langkahi ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan seluruh touch point dengan mengusung konsep Omni-channel atau O2O (Offline to Online atau Online to Offline). Contohnya, apa yang sudah dilakukan oleh sebuah brand e commerce  dan  Technology melalui event Personalize Gimmick pada saat Ramadhan di masa pandemi.

Memasuki Ramadhan, dimana marak pengiriman hampers Lebaran, mereka memilih memanfaatkan seluruh touch point pada saat pengiriman hampers ke rumah konsumen, yakni dengan menggelar aktivasi merek secara custom. Mulai dari hampers-nya yang dibuat personalize, hingga ucapan terima kasih dan kemasan pun dibuat pesonalize. Setelah itu, berkat personalize experience tadi, penerima atau kustomer akan mem-posting dan menyebarkannya melalui akun media sosial mereka, Instagram salah satunya.

Itu artinya, konsep aktivasi merek di masa pandemi tidak harus melulu mengumpulkan massa. Bahkan,  di dalam rumah konsumen sekalipun, tetap dapat dilakukan aktivasi merek. Konsep aktivasi lainnya,  juga dapat dieksekusi selama pandemi. Antara lain, peluncuran virtual (online launching), live streaming, seminar online (webinar), offline to online competition dan sebagainya. Kuncinya adalah koneksi antar-channel dengan memanfaatkan semua touch point.

Selanjutnya, memasuki masa PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang sudah mulai diperlonggar, experiential activation juga dapat dilakukan. Misalkan, dengan menggelar close atau private event dengan mengundang 10-20 brand evengelist. Mereka dipilih sebagai tamu istimewa, karena dapat melihat proses peluncuran produk secara terbatas.

Di sana, para brand evengelist terpilih menjadi orang pertama yang dapat melihat dan merasakan langsung produk baru. Mereka pun dijemput dari rumah secara personal, dihidangkan makanan secara personal, dan duduk pun dibuat personal dengan jaga jarak plus mengikuti protokol kesehatan. Setelah itu, para brand evengelist ini akan membagi dan bercerita tentang pengalaman mereka melalui media sosial. Oleh karena itu, di masa pandemi ini, community engagement juga menjadi suatu hal penting agar terjaganya komunikasi brand ke audiencenya.

Ketiga adalah KOLABORASI. Di masa pandemi, tidak ada lagi istilah kompetisi, melainkan koloborasi dengan berbagai pihak. Misalnya, brand activation agency dapat berkolaborasi dengan PR Agency, Digital Agency, Production House, dan sebagainya. Contohnya, brand activation agency dapat menggandeng production house untuk mengeksekusi kegiatan live streaming, menggandeng PR agency untuk membantu mengeksekusi event yang melibatkan media, dan menggandeng digital agency untuk menggelar program digital. 

Pandemi bukan berarti agensi harus mengambil jalan pintas dengan vacuum terlebih dahulu. Yang perlu kita ingat, klien masih membutuhkan agensi untuk dapat diajak berdiskusi dan mencari solusi. Bukan justru ditinggalkan sendiri. Dengan tetap berada di sisi klien pada masa pandemi, maka akan memperkuat trust yang berujung pada Word of Mouth (WOM). Mengapa? Karena, kita (agensi) dinilai telah berempati kepada mereka (klien) untuk melalui badai krisis ini secara bersama-sama.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)